logo kampuspsikologi

  • Home
  • Editor’s Picks
  • Kuliah Psikologi
  • Kesehatan Mental
    • Depresi
    • Gangguan Mental
    • Kecemasan
  • Wawasan
    • Emosi
    • Kepribadian
    • Perempuan
    • Psikologi Industri dan Organisasi
    • Romansa
    • Seksualitas
    • Teori
    • Tips & Trick
  • Serba-Serbi
FacebookInstagramYoutubeEmail
logo kampuspsikologi

6 Cara Menghilangkan Trauma, Berdamai Dengan Masa Lalu

by Anjuni Khofifah Hanifi, S.PsiSeptember 29, 2021September 29, 2021

Sebagian besar dari masyarakat pasti pernah mengalami peristiwa traumatis meskipun hanya satu atau dua kali sepanjang hidupnya. Meskipun demikian, tidak semua dari mereka yang memiliki pengalaman mengembangkan trauma pasca mengalami kejadian tersebut bahkan sebagian dari mereka justru mengalami post traumatic growth (PTG). Bagi mereka yang mengalami trauma masa lalu, biasanya beragam reaksi dari dalam dirinya muncul sebagai tanda-tanda atau bahkan bentuk dari trauma itu sendiri.

Table of Contents

  • Apa itu Trauma?
  • Cara Menghilangkan Trauma
    • 1. Sadari bahwa reaksi ini wajar dan normal
    • 2. Hadapi reaksi yang muncul
    • 3. Mencari dukungan
    • 4. Aktif berpartisipasi dalam kelompok dengan kondisi yang serupa
    • 5. Coping secara spiritual
    • 6. Mencari bantuan profesional

Apa itu Trauma?

Trauma adalah suatu pengalaman yang tidak menyenangkan dimana dapat menimbulkan kebingungan, rasa takut, perasaan tidak dapat tertolong atau helpless, disosiasi, kecemasan, dll. Ketika tidak diatasi, trauma dapat menimbulkan dampak buruk jangka panjang terhadap individu (Trauma – APA Dictionary of Psychology, t.t.).

Misalnya saja Ani, seorang mahasiswa yang pernah mengalami kecelakaan lalu lintas saat ia baru masih awal-awal mengendarai sepeda motor. Pada peristiwa tersebut ia mengalami cedera serius yakni patah tulang lengan tangan kirinya. Semenjak peristiwa tersebut ia trauma jika diminta untuk mengendarai sepeda motor di jalan raya dan muncul beragam tanda atau bentuk dari traumanya. Beberapa bentuk gejala atau tanda dari traumanya tersebut seperti cemas dan takut kalau ia akan kecelakaan lagi, tubuhnya tremor dan berkeringat dingin, hingga kemarahannya meledak karena ia tidak dapat mengontrol dirinya.

Ketika individu dihadapkan dengan kondisi serupa dengan Ani, ada yang sudah dapat mengontrol reaksi-reaksi yang muncul pada diri mereka dengan cara mengatasi trauma masa lalu dan ada pula yang belum. Pada individu yang belum memahami cara mengatasinya dengan tepat, beberapa diantara mereka cenderung melakukan strategi coping yang kurang tepat atau non adaptive coping strategy, seperti menghindari sumber ketakutan atau trauma. Pemilihan strategi coping yang tidak tepat ini sesungguhnya dapat memperburuk trauma yang dialami oleh individu itu sendiri.

Cara Menghilangkan Trauma

Trauma sendiri akan sulit untuk dilupakan dan cenderung menetap dalam memori kita (Bhinnety, 2008). Hal yang dapat dilakukan untuk mengatasinya adalah respon atau reaksi kita terhadap trauma masa lalu tersebut. Respon tersebut dapat dilakukan dengan cara coping strategi ketika trauma tersebut kembali dari ingatan dan mengganggu kehidupan kita sehari-hari. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pemburukan kondisi trauma karena ketidaktepatan strategi coping, maka artikel ini disusun untuk memberikan beberapa contoh cara menghilangkan trauma berkepanjangan yang bisa dilakukan untuk mengurangi reaksi tubuh akibat trauma tersebut.

1. Sadari bahwa reaksi ini wajar dan normal

Beberapa waktu setelah mengalami peristiwa yang menimbulkan trauma, ada sebagian masyarakat yang merasa ketakutan, cemas, atau tubuhnya memunculkan reaksi berlebihan ketika mengingat kejadian tersebut atau hanya ter-trigger. Center for Disease Control (CDC) (t.t.) menyampaikan bahwa cara pertama mengatasi trauma psikis yang bisa dilakukan individu untuk menghilangkan atau mengatasi trauma adalah menyadari bahwa reaksi yang tidak normal terhadap kondisi yang tidak normal adalah sesuatu yang wajar.

Sebagai contoh, ketika Ani merasakan reaksi dari dalam dirinya karena trauma tersebut, ia mengambil waktu sejenak untuk mengatur nafas dan menenangkan dirinya. Selanjutnya ia mengingatkan kepada dirinya sendiri bahwa “Ani, rasa takutmu untuk mengendarai motor lagi itu wajar. Enggak masalah kok kalau sekarang kamu masih belum bisa untuk berkendara di jalan raya lagi”.

2. Hadapi reaksi yang muncul

Adanya rasa atau reaksi tertentu akibat trauma yang dirasakannya terkadang membuat sebagian dari mereka merasa menghindari rasa tersebut lebih baik daripada menghadapinya. Namun demikian, ketika perilaku menghindar ini dilakukan berulang kali, justru dapat memperburuk kesehatan mental yang bersangkutan dan menjauhkan dari proses healing (Jeong Youn & Halfond, 2019).

Perilaku menghindari yang dimaksudkan pada poin ini seperti menjadi tidak produktif karena tidak mau keluar rumah agar terhindar dari pencetus rasa takut atau reaksi traumatis yang lain. Sebaliknya, menghilangkan trauma masa lalu dengan menghadapi triggers atau pencetus tersebut secara perlahan dapat membantu individu tersebut untuk kembali ke rutinitasnya. Memang hal ini tidaklah mudah dan memerlukan waktu serta dukungan dari beragam pihak.

Misalnya saja pada contoh Ani yang saat awal-awal mencoba menghilangkan traumanya, dia masih mudah terpancing dengan triggers yang ada. Ketika ia merasakannya, ia akan menenangkan diri sembari memberikan afirmasi positif untuk dirinya. Setelah stabil, ia mencoba dari hal yang paling sederhana yakni membonceng untuk menjawab rasa cemasnya bahwa tidak setiap saat kecelakaan itu terjadi. Begitu selanjutnya secara perlahan dan bertahap Ani menghadapi satu per satu rasa tidak nyaman dari traumanya.

3. Mencari dukungan

Support atau dukungan baik dari orang terkasih hingga lingkungan kerja dan sosial berperan penting bagi individu yang mengalami trauma psikis, terutama yang sedang dalam proses berdamai dengan trauma yang mereka miliki. Bentuk dukungan dari orang-orang disekitar kita dapat dalam beragam bentuk mulai dari sekadar teman mengobrol hingga meminta bantuan untuk menyelesaikan tugas-tugas terutama household yang menjadi terbengkalai ketika reaksi traumatis tersebut muncul (Jeong Youn & Halfond, 2019).

Tedeschi, Park, and Calhoun dalam Şimşir dkk. (2017) menunjukkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu variabel yang penting dan berguna dalam mendukung post traumatic growth dan terbukti memberikan perubahan positif terhadap individu yang mengalami trauma.

Contohnya, ketika Ani ingin mencoba kembali berkendara di jalan raya. Untuk mewujudkannya, Ani meminta bantuan temannya untuk mengendarai sepeda motor dan Ani membonceng. Dengan bantuan dan dukungan tersebut, Ani berhasil membuktikan dan mengatasi salah satu reaksi atas kecemasan yang berlebih saat kembali menggunakan sepeda motor di jalan raya.

4. Aktif berpartisipasi dalam kelompok dengan kondisi yang serupa

Tidak dapat dipungkiri ketika seseorang berada pada masa-masa yang berat karena trauma uang ia alami, individu tersebut bisa saja merasa sendirian atau bahkan cenderung mengisolasi diri dari lingkungannya. Beragam hal yang mungkin menjadi penyebab individu tersebut merasa sendiri atau memilih sendiri, misalnya saja merasa tidak ada yang bisa memahami perasaan yang muncul karena reaksi terhadap kondisi traumatis yang ia alami.

Salah satu cara menghilangkan trauma masa lalu yang dapat dilakukan ketika mengalami hal demikian adalah berpartisipasi atau bergabung dengan kelompok yang mengalami kondisi yang serupa. Aktivitas ini dapat membantu untuk mengurangi stres yang muncul serta memberikan ruang bagi mereka untuk tidak merasa sendirian lagi (Şimşir dkk., 2017).

Pada contoh Ani yang mengalami trauma psikologis karena kecelakaan yang menimpanya, ia mencari kelompok yang serupa walaupun kondisinya tidak sama persis. Ia bergabung pada salah satu grup di Facebook yang berisikan sesama penyintas kecelakaan yang mengalami berbagai gangguan psikologis yang mengganggu aktivitas mereka. Dengan aktif bersama rekan satu grup ini, selain mendapatkan sharing cara untuk berdamai dengan kondisinya, ia juga merasa tidak sendirian karena ada banyak Ani-Ani yang lain atau bahkan mereka yang memiliki kondisi yang lebih parah.

5. Coping secara spiritual

Cara lain yang dapat dicoba untuk menghilangkan atau mengatasi dengan trauma yang kita miliki adalah coping secara spiritual maupun religius. Şimşir dkk. (2017) menjelaskan bahwa tingkat religiusitas maupun spiritualitas individu dapat berubah antara sebelum dan sesudah yang bersangkutan mengalami peristiwa traumatis. Namun demikian, sebagian besar partisipan dalam penelitian Şimşir dkk. (2017) menunjukkan perubahan secara positif dan mengalami peningkatan kepercayaan terhadap tuhan dan lebih dekat dengan Tuhan.

Dengan mempercayai ketetapan Tuhan atau energi yang lebih besar, individu dapat melihat proses berdamai ini menjadi sebuah obat trauma atau proses yang dapat berbuah baik secara psikologis maupun secara spiritual. Hal ini juga berkaitan dengan peningkatan kesabaran untuk melewati proses berdamai yang tidak singkat, tetapi diperlukan untuk para penyintas (Jeong Youn & Halfond, 2019).

Misalnya Ani yang menjalani proses yang tidak mudah untuk berdamai dengan rasa takutnya untuk kembali mengendarai sepeda motor di jalan raya. Ia berusaha untuk menerima takdir yang diberikan oleh Tuhan setelah beberapa bulan ia merasa Tuhan tidak adil karena menciptakan ketakutan dan trauma yang cukup berat bagi Ani.

Setelah ia mampu menerima kondisinya, Ia mengingat ajaran dalam keyakinannya bahwa Tuhan akan memberikan hasil yang sesuai dengan usaha yang dilakukan hambanya, maka Ani terus bersemangat untuk berproses untuk mengatasi trauma psikologis dan trauma fisik yang ia alami.

6. Mencari bantuan profesional

Bagi individu yang sedang berusaha menghilangkan traumanya, proses cara menghilangkan pikiran negatif yang dilalui pada seseoarang pasti tidaklah mudah. Ketika dalam melakukan upaya tersebut individu mengalami kendala seperti tidak merasa tidak sanggup menghadapi reaksi fisik dan psikis dari trauma yang ada, maka lebih baik mencari bantuan profesional. Hal ini dikarenakan tidak semua proses menghilangkan atau mengatasi trauma itu mudah dan ada beberapa kondisi yang memang memerlukan bantuan profesional seperti psikolog maupun psikiater.

Misalnya saja, Ani yang merasakan ketakutan yang teramat sangat hingga terbawa ke dalam mimpi. Karena Ani merasa tidak dapat mengendalikan alam bawah sadarnya, maka ia memutuskan untuk mencari bantuan psikolog. Dengan melakukan konsultasi dan serangkaian terapi, kini ia lebih mampu mengatur dirinya ketika mengalami ketakutan dan mimpi buruk karena ketakutan tersebut juga sudah jarang menghantui Ani.


Demikian enam cara yang dapat dilakukan bagi individu yang sedang dalam proses berdamai dengan traumanya. Keenam cara tersebut bukanlah sebuah urutan yang harus dilakukan secara berturut-turut. Selain itu, cara-cara yang disampaikan pada artikel ini hanya sebagian kecil cara berdamai dengan trauma yang bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing.

Referensi

Center for Disease Control. (t.t.). Coping with a Traumatic Event. Diambil 19 September 2021, dari https://www.cdc.gov/masstrauma/factsheets/public/coping.pdf

Jeong Youn, S., & Halfond, R. (2019, Oktober 30). How to cope with traumatic stress. American Psychological Association. https://www.apa.org/topics/trauma/stress

Şimşir, Z., Boynueğri, S. T., & Dilmaç, B. (2017). Religion and Spirituality in the Life of Individuals with Paraplegia: Spiritual Journey from Trauma to Spiritual. Spiritual Psychology and Counseling, 2(1). https://doi.org/10.12738/spc.2017.1.0023

Trauma – APA Dictionary of Psychology. (t.t.). Diambil 23 Mei 2021, dari https://dictionary.apa.org/trauma

previous post
Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja, Apa Yang Harus Dilakukan?
next post
Tips Menghadapi LDR dengan Ikigai
Anjuni Khofifah Hanifi, S.Psi

Artikel Terkait

5 Gangguan Psikologis Pada Lansia Yang Umum Dijumpai

K. Lintang MahadewaJanuary 3, 2021March 25, 2021

Apa itu Sosiopat, Perbedaan dengan Psikopat

Anjuni Khofifah Hanifi, S.PsiOctober 17, 2021October 13, 2021

Borderline Personality Disorder: Bahaya atau Tidak?

Neraca Cinta Dzilhaq, S.Psi.May 30, 2022May 30, 2022

Leave a Comment Cancel Reply

Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.

Artikel Terbaru

  • Tips Sederhana Agar Tidak Kecanduan Media Sosial
  • Ingin Wawancara Kerja Lancar? Simak Tips Mindfulness Ini!
  • 10 Ciri Psikopat Ringan Menurut Psikologi
  • Intuisi Menurut Psikologi dan Contohnya
  • Tips Menghadapi Masa Lalu dengan Penuh Keberanian
  • Alasan Psikologis Kenapa Cowok Nggak Suka Curhat

Artikel Terpopuler

15 Cara Move On Dari Mantan Ala Psikologi

Neraca Cinta Dzilhaq, S.Psi.December 15, 2020February 6, 2021
by Neraca Cinta Dzilhaq, S.Psi.

Mengenal MBTI: 8 Fungsi Kognitif yang Membentuk Kepribadian

Neraca Cinta Dzilhaq, S.Psi.January 25, 2021February 18, 2021
by Neraca Cinta Dzilhaq, S.Psi.

Jenis-Jenis Gelar Psikologi Dan Penulisannya

Adrian SuwondoFebruary 25, 2021April 10, 2022
by Adrian Suwondo

6 Alasan Memilih Jurusan Psikologi

Narko RasalatDecember 23, 2020January 25, 2021
by Narko Rasalat

Menjadi Dewasa Adalah Pilihan, Bagaimana Caranya?

Miftahun Fadhila, S.Psi.February 19, 2021February 8, 2021
by Miftahun Fadhila, S.Psi.

Perbedaan Psikologi Saintek dan Soshum, Kenali Sebelum Memilih

Adrian SuwondoFebruary 21, 2021April 10, 2022
by Adrian Suwondo
About US
KampusPsikologi.com menyediakan artikel psikologi berkualitas yang ditulis oleh mahasiswa, sarjana, dan magister jurusan Psikologi universitas ternama. Semua artikel di situs ini bersifat informasional dan tidak menggantikan pendapat ahli atau psikolog.

Selengkapnya tentang kami
Contact us: admin@kampuspsikologi.com
@2022 - kampuspsikologi.com. All Right Reserved.
logo kampuspsikologi
FacebookInstagramYoutubeEmail
  • Home
  • Editor’s Picks
  • Kuliah Psikologi
  • Kesehatan Mental
    • Depresi
    • Gangguan Mental
    • Kecemasan
  • Wawasan
    • Emosi
    • Kepribadian
    • Perempuan
    • Psikologi Industri dan Organisasi
    • Romansa
    • Seksualitas
    • Teori
    • Tips & Trick
  • Serba-Serbi
Go to mobile version