Coba lihat sekitarmu, lampu-lampu neon yang menyala terang dan baliho-baliho berwarna terang yang memikat mata. Dunia kita telah menjadi warna-warni yang mencoba membuat kita merasakan sesuatu. Bagi beberapa orang, warna-warna tersebut melambangkan nilai yang tinggi, estetis, atau melambangkan bahaya. 

Tapi sejak kapan warna merah menjadi pertanda bahaya? Memang yang ngajarin siapa? Apakah jurnal dan penelitian mengenai warna bisa dipercaya? Artikel ini akan mencoba menjelaskan cara observasi bisa menuntun kepada pengaruh warna terhadap situasi dan perilaku kita. Tertarik? Yuk baca sampai selesai.

Teori yang mendasari

Color-in-Context dicetuskan oleh Elliot dan Maier (2012) yang melibatkan social learning disertai biologi. Teori ini mengasumsikan bahwa beberapa respon terhadap stimulus (warna) muncul hanya karena pemasangan warna dengan konsep, pesan, maupun pengalaman tertentu. Melalui teori ini, asosiasi yang ada dapat diperluas hingga konteks diluar proses fisiologis tubuh dan sampai obyek yang berada disekitar tubuh (Elliot, 2015). 

Karena teori ini berisi teori social learning, aku coba jelasin secara singkat ya. Jadi, Albert Bandura (Nabavi, 2012) memiliki dua teori tentang pembelajaran yaitu Social Learning Theory (SLT) dan Social Cognitive Learning Theory (SCLT). Untuk artikel ini kita fokus dulu ke SLT ya teman-teman.

Teori SLT didasari ide kalau manusia bisa belajar dari hasil interaksi mereka dengan orang lain dalam konteks sosial. Orang-orang juga bisa mengembangkan perilaku yang serupa dengan mengobservasi perilaku orang lain. Teori SLT berargumen bahwa manusia dapat belajar dari satu sama lain melalui:

  1. Observasi : Memerhatikan yang terjadi disekitar mereka
  2. Imitasi : Meniru atau reka ulang perilaku yang dipelajari melalui observasi mereka.
  3. Modeling : Saat A melakukan suatu perilaku yang dilihat B, A melakukan modelling. 

Terus apa hubungan SLT dengan arti warna? Singkatnya kita bisa mempelajari arti-arti tersurat maupun tersirat dari hasil melihat perilaku orang lain. Contohnya seperti ini:

  1. Saat di rumah aku melihat roti tawar yang sudah berwarna biru kehijauan. 
  2. Karena aku mengasosiasikan warna biru kehijauan pada roti dengan jamur, aku langsung jijik dan membuangnya. 
  3. Adikku yang memperhatikan perilaku itu dan ikut melakukannya. 

Pada contoh itu aku melakukan modeling dan mengajarkan adikku (secara tidak langsung) arti dari warna biru kehijauan pada roti tawar. Adikku memperhatikan dan mengimitasi perilaku itu. Begitulah SLT bisa mengajarkan orang lain cara bereaksi kepada warna-warna yang berbeda.

Contoh dari Color-in-Context

Melihat betapa banyaknya aplikasi warna dalam kehidupan sehari-hari, pastinya akan ada banyak sekali bidang yang menggunakan warna dan melakukan riset yang sesuai untuk membuktikan temuan mereka. Kalau dalam keseharian, kita bisa dengan mudah menemukan asosiasi implisit antara warna merah dengan bahaya (Pravossoudovitch, Cury, Young, & Elliot, 2014). Ada yang menggunakan alasan karena evolusi manusia kepada lingkungannya. Melalui social learning kita mempelajari melalui game kalau yang berbahaya itu berwarna merah, warna merah berarti negatif karena nilai buruk di rapot yang berwarna merah, peringatan dan larangan yang ditulis pada objek yang berwarna merah, dan banyak lainnya. 

Warna dalam Konteks Olahraga

Salah satu riset yang saya temukan ada pada bidang olahraga. Penelitian milik Frank dan Gilovich (1988) yang meneliti agresivitas dari pemain tim NFL dan NHL yang memiliki seragam berwarna hitam. Penelitian tersebut meneliti sejarah pelanggaran dari 17 tahun lalu untuk membuktikan hipotesis yang mereka buat. Mereka menemukan sejarah pelanggaran yang lebih tinggi pada tim yang menggunakan seragam berwarna hitam dibandingkan tim lawan yang memakai seragam warna hitam. 

Namun, melihat sejarah 17 tahun lalu tidak cukup, mereka juga melakukan eksperimen lanjutan untuk melihat di lapangan. Hasilnya juga konsisten, dengan tim dengan seragam warna hitam yang mengumpulkan banyak pelanggaran. Lalu kenapa bisa begini? Salah satu dugaannya, karena dalam konteks olahraga, agresivitas (yang bersifat kompetitif) adalah perilaku yang kerap muncul (Huđin, Glavaš, & Pandžić, 2020).

Warna dalam Konteks Restoran Internasional

Kita juga bisa mempelajari warna dan pengaruhnya melalui asosiasi yang ada dalam keseharian. Seperti asosiasi warna merah dan kuning pada logo restoran dengan rasa lapar/arousal (Dupont, 2014). Dalam tesis miliknya, Dupont (2014) menjelaskan pengaruh warna-warna hangat (seperti merah dan kuning) kepada arousal, impulsivity, dan kebahagiaan. Coba deh kamu inget-inget tempat makan terkenal yang memakai warna merah? Ada McDonald, Wendys, KFC, wah dan masih banyak lainnya juga.

Menurut Studi literatur dari Keskar (2010) kemungkinan hal ini disebabkan oleh fakta bahwa warna merah tidak hanya meningkatkan tekanan darah dan tingkat respirasi, tetapi juga rasa lapar. Secara spesifik, warna merah menarik perhatian orang, meningkatkan selera makan, dan menarik perhatian mereka ke tempat itu. 

Apakah Penelitian Terhadap Warna Bisa Dipercaya?

Teori Color-in-Context juga mengkritisi teori maupun eksperimen warna yang besar tetapi tidak jelas saat eksperimen. Contoh paling terkenal adalah Baker-Miller Pink Prison Cell pada tahun 1979, sebuah eksperimen yang mengungkapkan jika agresivitas tahanan akan menurun setelah dipaparkan selama 15-30 menit dari sel penjara berwarna pink mencolok ini. Eksperimen ini menjadi “viral” dan banyak penjara yang mulai menggunakan warna ini. Sayangnya, riset lanjutan (Gilliam, 1991) yang ingin membuktikan teori Baker-Miller ini tidak berhasil menemukan bukti yang mendukung temuan Baker-Miller. 

Sebagai rekap, teori ini mempertanyakan dan mengkritisi kualitas riset terhadap warna dan dampaknya terhadap partisipannya. Sudut pandang yang mementingkan riset yang menyeluruh dari sumber, dampak, asosiasi, basis teoritis dari warna. Teori ini juga memperluas aplikasi warna, tidak hanya pada tubuh (secara biologis) tetapi pada bidang lain seperti pakaian, periklanan, dan semacamnya.

Penutup

Menurut Elliot (2015) masih terlalu awal untuk memberikan pernyataan teoritis yang mutlak mengenai arti maupun aplikasi dari psikologi warna. Karena psikologi warna sangat rumit (Kuehni, 2012) dalam caranya yang sendiri. Masih terdapat banyak sekali riset untuk menemukan arti, asosiasi, dan pengaruh warna terhadap manusia dalam berbagai konteks. Menurut saya, informasi yang sudah beredar di media dan jurnal bisa dipakai tapi jangan diambil mentah-mentah yak.

References

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *