Toxic Masculinity dan Cara Membuatnya Lebih Sehat!

Gelap dan terang selalu hadir dalam segala hal. Dalam film selalu ada pahlawan dan penjahat yang utama, di kehidupan nyata ada polisi dan pelaku kejahatan, dan seterusnya. Ide yang sama juga hadir dalam maskulinitas. Maskulinitas bersifat plural, tidak terkekang, dan dinamis (Jewkes dkk., 2015). Namun, untuk artikel ini kita cukup berfokus ke toxic masculinity dan cara “melawannya” saja ya.

Table of Contents

Apa itu Toxic Masculinity?

Selama menjelajahi berbagai artikel dan blog yang saya temui di Internet, ditemukan dua definisi yang sayangnya digunakan secara bergantian.

Pertama, ada arti toxic masculinity sebagai perkumpulan karakteristik maskulin yang regresif secara sosial, karakteristik yang ada untuk melestarikan dominasi, devaluasi terhadap perempuan, homofobia, dan kekerasan yang tanpa alasan (Kupers, 2005, p.71).

Ada juga toxic masculinity yang berfokus terhadap maskulinitas yang berdampak negatif karena lelaki tersebut menjadi tertekan dan terkekang. Dr. Ellen Hendriksen menjelaskan artinya toxic masculinity adalah hal yang terjadi saat konsep maskulinitas terlalu mengekang seseorang. Mencegahnya dalam berkembang dan terpaksa mengikuti aturan yang tidak adil dari masyarakat (Hendriksen, 2019). Seperti:

  • “Jadi cowok kok nangis, Laki bukan kamu?”
  • “Jadi cowok kok nggak bisa cari uang? Laki bukan?”
  • “Cowok kok pake skincare? Banci ya kamu?”
  • “Cowok kok nggak ngerokok? Cupu banget”

Menariknya, istilah toxic masculinity juga dianggap merendahkan para lelaki, seolah-olah mereka menjadi korban dan merendahkan maskulinitas (RT, 2019), meskipun sering dikatakan bahwa kelompok yang menentang ide ini merupakan minoritas dari seluruh populasi lelaki (Victorian Health Promotion Foundation, 2020).

Menghilangkan atau mengurung maskulinitas bukanlah solusi yang efektif untuk menghilangkan toxic masculinity, hal tersebut akan menimbulkan lebih banyak kerusakan dibandingkan keuntungan bagi dunia (Tonton Video ini). Menurutku, sifat toxic ataupun merusak bisa hadir dalam siapapun terlepas dari gender, ideologi, dan status. Kita perlu memakai solusi yang lebih baik dan lebih bisa diterima oleh para lelaki.

Cara Agar Maskulinitas Lebih Positif

1. Mengadakan program yang mendalami dan membahas maskulinitas

Menurut Our Watch, perlu ada psikoedukasi terhadap masyarakat mengenai berbagai macam cara untuk menjadi lelaki. Menjadi lelaki tidak terbatas kepada agresi, dominansi, homophobia, dan karakteristik traditional masculinity lainnya yang negatif (“Tough man stereotype can hurt women and men: report,” 2019).

Program seperti “The Boys Forum” yang diadakan dengan 51 lelaki di umur 13-14 pada sebuah SMP di Amerika menemukan beberapa dampak positif seperti (O’Neil, Challenger, Renzulli, Crapser & Webster, 2013) :

  • Peserta yang menyukai dan menginternalisasi konten program tersebut
  • Perilaku dan tindakan yang lebih positif dari para pesertanya
  • Mayoritas dari peserta merasa lebih positif terhadap diri sendiri
  • Setengah dari total peserta yang mulai mencari bantuan untuk masalah-masalah mereka

Proses psikoedukasi kepada masyarakat akan memiliki pengaruh dan pendekatan yang berbeda, karena perlu disesuaikan dengan budaya dan target psikoedukasi itu sendiri. Bahkan framework Victorian Health Promotion Foundation (2020) gagal membujuk warga yang menentang ide mereka mengenai maskulinitas. Tidak ada satu solusi untuk segala masalah dan tiada gading yang tak retak.

2. Memperkenalkan konsep healthy and caring masculinity 

Sebagai kebalikan dari toxic masculinity yang kaku dan tidak mengizinkan para lelaki mengekspresikan diri dan mencari bantuan. Healthy masculinity mengajak para lelaki untuk mengalami, mengekspresikan, dan berbagi emosi mereka terhadap teman-teman dan orang lain. Konsep ini menginginkan para lelaki untuk bisa menangis tanpa merasa malu, merasakan cinta dan afeksi yang mendalam secara sosial (dengan teman/lingkungan/keluarga), dan secara romantis (Caraballo, 2019).

Kemudian, caring masculinity mengajak para lelaki untuk menjauh dari stereotip/nilai kekerasan dan dominasi. konsep ini mengajak para lelaki untuk mendekatkan diri terhadap nilai saling membantu dan peduli terhadap orang lain (Elliott, 2015). Adopsi identitas caring masculinity ini diharapkan mampu memengaruhi peran lelaki dalam menghadapi gender equality ke arah yang lebih positif

Terdapat berbagai cara atau metode untuk memperkenalkan konsep ini secara efektif kepada para lelaki. Salah satu contohnya adalah “Framing Masculinity” dari Victorian Health Promotion Foundation (2020).

Unhealthy/Toxic masculinity adalah sebuah konsep yang dapat mengganggu perkembangan seorang lelaki dalam bertindak, konsep yang diajarkan secara sosial ini juga dapat memengaruhi perempuan dan lingkungan sekitar lelaki tersebut. Berbagai jurnal sudah mempelajari dan mencoba untuk mendalami topik ini dan cara “membebaskan” para lelaki darinya.

Daftar Pustaka

  • Caraballo, J.-E. (2019, April 3). What is Healthy, Respectful Masculinity? Retrieved September 11, 2021, from Talkspace website: https://www.talkspace.com/blog/healthy-versus-toxic-masculinity/?__cf_chl_captcha_tk__=pmd_.qr_AU0SAVDYNMrmw9OQp_KqKpfW8OMWY.oIh7k_9bU-1631209172-0-gqNtZGzNAuWjcnBszQZl
  • Elliott, K. (2015). Caring Masculinities. Men and Masculinities19(3), 240–259. https://doi.org/10.1177/1097184×15576203
  • Hendriksen, E. (2019, May 3). How to Fight Toxic Masculinity. Retrieved September 11, 2021, from Quick and Dirty Tips website: https://www.quickanddirtytips.com/health-fitness/mental-health/fight-toxic-masculinity?utm_source=sciam&utm_campaign=sciamhttps://www.quickanddirtytips.com/health-fitness/mental-health/fight-toxic-masculinity?utm_source=sciam&utm_campaign=sciam
  • Jewkes, R., Morrell, R., Hearn, J., Lundqvist, E., Blackbeard, D., Lindegger, G., Quayle, M., Sikweyiya, Y., & Gottzén, L. (2015). Hegemonic masculinity: combining theory and practice in gender interventions. Culture, health & sexuality17 Suppl 2(sup2), S112–S127. https://doi.org/10.1080/13691058.2015.1085094
  • Kupers, T. A. (2005). Toxic masculinity as a barrier to mental health treatment in prison. Journal of Clinical Psychology, 61(6), 713–724. https://doi.org/10.1002/jclp. 20105.
  • O’Neil,J.,Challenger,C.,Renzulli,S.,Crapser,B.&Webster,E.(2013).‘TheBoy’sForum:Anevaluationofa brief intervention to empower middle-school urban boys. The Journal of Men’s Studies, 21(2), 191-205.
  • RT. (2019, January 9). Toxic masculinity: American Psychological Association says it’s bad to be a man. Retrieved April 14, 2019, from RT International website: https://www.rt.com/usa/448410-apa-masculinity-bad-psychology/
  • Tough man stereotype can hurt women and men: report. (2019, November 7). Retrieved September 11, 2021, from www.ourwatch.org.au website: https://www.ourwatch.org.au/resource/tough-man-stereotype-can-hurt-women-and-men-report/
  • Victorian Health Promotion Foundation. (2020). Framing masculinity Message guide. Retrieved from https://www.vichealth.vic.gov.au/-/media/ProgramsandProjects/HealthInequalities/VicHealth-Framing-masculinity-message-guide-2020.pdf?la=en&hash=5C7A0577057997705D93D71052E66DCB5F1BC685

This entry was posted in Serba-Serbi on by .

About K. Lintang Mahadewa

Saat ini, Lintang Mahadewa adalah mahasiswa psikologi di UGM. Karena merasa bosan dan ingin mencari pengalaman, Lintang saat ini menjadi content writer dan ghostwriter dengan jumlah artikel 50+. Lintang mengetik dengan sudut pandang ketiga, karena membuatnya merasa lebih nyaman dan tidak cringe. Namun, akan ada saat dimana Lintang “merasa humoris” dan melontarkan lelucon ala bapak-bapak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *