ilustrasi resiliensi

Bangkit Lagi Yuk! Mengenal Resiliensi dan Cara Meningkatkannya

Pasti kita sudah sering mendengar mengenai pepatah “Hidup itu ibarat roda yang berputar. Kadang diatas, kadang dibawah.” Jika kita renungi lagi, hmm ada benarnya juga ya! Jika melihat kehidupan orang-orang disekitar kita ataupun bahkan diri kita sendiri, pesan tersebut terasa mengena sekali dan benar adanya. Namun, apa hubungannya dengan resiliensi?

Tidak setiap saat apa yang kita inginkan dan cita-citakan selalu terwujud. Terkadang kita harus merasakan gagal meskipun telah berusaha. Bukan karena usaha kita kurang, namun kegagalan bisa jadi mengarahkan kita kepada kesuksesan yang lebih dari yang kita inginkan.

Jadi, jangan buru-buru melabeli diri dengan orang yang tidak berguna ya! Bisa jadi kegagalan mengajarkan kita untuk memperbaiki diri dan menemukan kelemahan diri. Kegagalan juga mengajarkan kita akan kekuatan dan bertapa bermaknanya sebuah kesuksesan.

Kesuksesan bisa dicapai ketika kita mau untuk bangkit dari kegagalan dan keterpurukan. Dalam psikologi istilah bangkit dari kegagalan ini biasa disebut dengan ‘resiliensi’. Apa itu resiliensi dalam psikologi? Dan bagaimana cara mengembangkannya? Yuk kita bahas satu per satu!

Pengertian Resiliensi

Resiliensi adalah kemampuan seseorang dalam mengatasi, melalui, dan kembali kepada kondisi semula setelah mengalami kejadian yang menekan (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi berasal dari bahasa latin “re-silere” yang memiliki makna bangkit kembali (Connor & Davidson, 2003).

Seperti bola basket, waktu jatuh ke bawah, “resiliensi” membantu bola tersebut bisa memantul naik dengan cepat. Bayangkan diri kita seperti bola basket tersebut, resiliensi lah yang membantu kita bisa bangun lagi setelah jatuh.

Kemampuan ini sangat penting digunakan untuk mengelola stres dalam kehidupan sehari-hari. Individu yang mampu mengembangkan kemampuan resiliensi dengan baik maka akan lebih sukses menghadapi permasalahan hidup yang sedang dihadapi (Reivich & Shatte, 2002).

Aspek Resiliensi

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi resiliensi. Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi terbentuk dari tujuh aspek dalam diri seseorang, yaitu sebagai berikut:

1. Emotion Regulation (Pengaturan Emosi)

Emotion Regulation adalah kemampuan seseorang untuk tetap berada pada keadaan tenang dan terkendali meskipun pada kondisi yang menekan. Dengan kata lain sejauhmana kita dapat mengendalikan emosi khusunya emosi negatif ketika kita tengah mengalami kegagalan.

2. Impuls Control (Pengendalian diri)

Individu yang memiliki faktor pengendalian dorongan yang tinggi akan lebih mudah dalam pengaturan emosi. Kemampuan diri dalam mengatur dorongan, penting untuk menjaga agar setiap perilaku yang kita lakukan masih dalam kontrol dari diri sendiri dan tidak lepas kendali.

3. Optimist (Optimis)

Optimis adalah kepercayaan pada diri bahwa segala sesuatu akan dapat berubah menjadi lebih baik, mempunyai harapan akan masa depan dan percaya bahwa kita dapat mengontrol kehidupan seperti apa yang kita inginkan.

4. Causal Analysis (Analisis Penyebab Masalah)

Analisis penyebab masalah adalah kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab dari sebuah peristiwa yang dialami. Hal ini penting untuk menjaga diri kita agar tidak mengambil tindakan yang salah dan merugikan diri sendiri ataupun orang lain.

5. Empathy (Empati)

Empati adalah kemampuan untuk turut merasa atau mengidentifikasi diri dalam keadaan, perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain atau kelompok lain. Empati membantu kita untuk peka terhadap  perasaan orang lain dan mengurangi risiko terjadinya konflik.

6. Self-Efficacy (Efikasi Diri)

Efikasi diri menggambarkan sebuah keyakinan bahwa individu dapat memecahkan masalah dan dapat meraih kesuksesan. Dengan adanya keyakinan ini, kita menjadi termotivasi untuk memecahkan masalah dan yakin bahwa masalah yang dihadapi mampu untuk dilewati.

7. Reaching out (Kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan)

Individu yang mampu untuk memperbaiki dan mencapai keinginan yang dituju, maka akan memiliki aspek yang lebih positif. Apabila kita takut gagal sebelum mencoba , kita tidak akan mendapat apa yang kita inginkan.

Ketujuh aspek tersebut sangat penting untuk dimiliki bagi kalian yang ingin menjadi pribadi yang resilien dalam menghadapi tantangan kehidupan. Untuk membentuknya tentu dibutuhkan latihan agar diri terbiasa mengembangkan mindset resilien.

Cara Meningkatkan Resiliensi

Perlu diingat bahwa resiliensi bukanlah sebuah aspek tetap dari seseorang. Tingkatnya dapat berubah sesuai kondisi atau situasi yang kita hadapi. Menurut penelitian yang dilakukan Reivich dan Shatte (2002), kita bisa terus meningkatkan dan melatih tingkat resiliensi dengan menerapkan kebiasaan dan pola pikir berikut:

1. Ubah persepsi tentang kegagalan

Kita perlu meyakini bahwa kegagalan adalah suatu hal yang wajar dalam usaha untuk mencapai cita-cita. Dengan mengubah persepsi kegagalan menjadi hal yang lebih positif seperti mampu membuat kita menjadi pribadi yang lebih matang dan mampu memaknai kesuksesan secara lebih, dapat membantu kita untuk lebih termotivasi dibandingkan mengurung diri dalam keterpurukan.

2. Bangun kepercayaan diri

Kepercayaan diri penting bagi pribadi yang ingin resilien. Dengan kepercayaan diri kita akan memiliki keyakinan bahwa kita akan sukses suatu saat nanti

3. Belajar untuk relaks

Ketika kita menjaga pikiran dan tubuh kita, kita akan lebih mampu untuk mengatasi tantangan dalam hidup secara lebih efektif. Beberapa caranya adalah dengan membiasakan diri untuk tidur cukup, olahraga, meditasi, dan refreshing.

4. Kontrol respons diri

Ingat bahwa kita semua pernah mengalami hari-hari berat. Tetapi kita memiliki pilihan dalam menanggapi. Kita bisa memilih reaksi yang panik dan pesimis ataupun tenang dan optimis. Pribadi yang resilien mampu memilih respons yang tepat dari masalah yang dihadapi yaitu dengan tetap tenang dan optimis.

5. Bersikap fleksibel

Pribadi yang resilien memahami bahwa segala sesuatunya berubah, bahkan rencana yang sudah dibuat dengan hati-hati pun bisa gagal ataupun dibatalkan. Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan memahami masalah atau dengan memilih jalur lain.

Nah, itu tadi lima langkah yang bisa kita kembangkan untuk meningkatkan resiliensi. Jika sudah terbangun, langkah selanjutnya adalah berkembang menuju post-traumatic growth yang dikenal dengan konsep Antifragility.

Ingat! Dalam kehidupan, kita akan menemukan berbagai tantangan dan situasi diluar kendali kita. Jika selama ini kita menghadapi masalah hidup tanpa resiliensi, itu bisa jadi hal yang wajar kok. Tidak semua orang punya pengalaman yang cukup untuk belajar membangun resiliensi. Anggap saja dengan membaca artikel ini adalah langkah pertama kalian untuk belajar menjadi pribadi yang resilien.

Semangat ya! Yuk Bangkit!

Referensi Jurnal:

Connor K.M, dan Davidson J. R. T. (2003). Spirituality, Resilience, and Anger in Survivors of Violent Trauma: A Community Survey. Journal of Traumatic Stress. 16, 487-494.

Reivich dan Shatte. (2002). Psychosocial Resilience. American Journal of Orthopsychiatry, 57, 316.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *