“Eh tadi kompornya sudah dimatikan belum ya? Cek dulu deh”
“Eh tadi kompornya sudah dimatikan belum ya? Duh kalau nggak diperiksa bisa meledak”
“Eh tadi kompornya sudah dimatikan belum ya? Rasanya kok ga nyaman?”
“Eh tadi kompornya sudah dimatikan belum ya? Kok kayaknya kurang ya?” dan berulang terus selama lebih dari 1 jam. Itulah isi pikiran pasien OCD dengan insight buruk yang terobsesi kepada kompornya di rumah.
Sekarang OCD menjadi salah satu gangguan mental yang sering diadaptasi ke dalam media populer, baik dalam bentuk film maupun anime. Contoh favoritku adalah “Clean Freak! Aoyama-kun” sebuah anime komedi dengan tokoh utama yang memiliki OCD kepada kebersihan. Karakter tersebut mampu menjelaskan OCD pada tingkat permukaan, tetapi saatnya mengetahui OCD secara lebih dalam. Seperti apa artinya, penyebab OCD, beserta metode penanganannya.
Definisi Obsessive-Compulsive Disorder
Obsessive Compulsive Disorders (OCD) adalah gangguan mental yang ditandai dengan kecenderungan berlebihan pada keteraturan serta melakukan sesuatu berulang-ulang. Individu yang memiliki OCD akan memiliki obsesi dan kompulsi.
Berikut penjelasan singkat mengenai kedua hal itu (American Psychiatric Association, 2013):
Apa itu Obsesi?
Obsesi adalah pikiran, keinginan, atau gambaran yang berulang dan persisten dari peristiwa yang pernah dialami individu tersebut. Gangguan kerap muncul sebagai intrusif dan tidak diinginkan, seringkali muncul karena kecemasan atau stress. Individu yang mengalami OCD juga akan mencoba untuk menekan/menetralkan pikiran, keinginan, atau gambaran tersebut dengan melakukan tindakan (compulsion) atau pikiran lain.
Apa itu Compulsion
Compulsion merupakan perilaku berulang (seperti mencuci tangan, memeriksa kembali, atau merapikan barang) atau mental acts (seperti berdoa, berhitung, atau mengulangi kata-kata di dalam hati) yang dirasa harus dilakukan untuk menangani obsesi maupun aturan yang perlu dipatuhi secara ketat.
Sebenarnya kegiatan ini dilakukan untuk mencegah atau mengurangi rasa cemas dan stress, tetapi kegiatan ini tidak memiliki hubungan yang jelas dengan masalah yang ingin diatasi. Hubungan yang tidak realistis antara kegiatan dan tujuan kegiatan tersebut membuatnya berlebihan atau excessive.
Obsesi dan kompulsi ini memakan banyak waktu (seperti memakan lebih dari 1 jam setiap harinya) atau mengakibatkan stress klinis, atau menghasilkan gangguan pada kehidupan sosial, pekerjaan, maupun fungsi sehari-hari lainnya.
Dalam DSM-5 juga memiliki 3 pengelompokan OCD berdasarkan insight penderita gangguan OCD tersebut:
- With good or fair insight: Individu sadar jika kepercayaan/pikiran OCD miliknya tidak nyata atau mungkin nyata dan mungkin tidak.
- With poor insight: Individu berpikir jika kepercayaan OCD mungkin benar.
- With absent insight/delusional belief: Individu sepenuhnya yakin jika kepercayaan OCD miliknya nyata.
Jenis obsesi dan kompulsi akan berbeda antara setiap Individu. Namun, terdapat beberapa tema/dimensi yang umum. Beberapa diantaranya seperti:
- Kebersihan: Obsesi terhadap kontaminasi dan kompulsinya membersihkan.
- Simetri: Obsesi terhadap simetri dan kompulsinya berupa menyusun dan menghitung berulang-ulang.
- Pikiran terlarang atau tabu: Obsesi terhadap pikiran yang agresif, seksual, maupun religius.
- Bahaya: Obsesi terhadap rasa takut akan melukai diri sendiri atau orang lain.
Para individu dengan OCD merasakan berbagai respon afektif ketika menemui situasi yang menimbulkan obsesi dan kompulsi mereka. Sebagai contoh, Individu OCD akan merasa jijik ketika melihat sesuatu yang tidak sesuai obsesinya (tidak bersih, tidak simetris, atau semacamnya). Saat Individu dengan OCD tersebut melakukan kompulsi, beberapa juga melaporkan rasa “incompleteness” atau ketidaknyamanan sampai semua terlihat dan terasa “benar.”
Jadi temen-temen, kalau kamu suka memeriksa kembali jika pintu sudah terkunci sebelum pergi sebanyak 3x bukanlah pertanda kamu memiliki OCD ya, itu namanya berhati-hati. Namun, kalau setiap kali mau pergi kamu merasa harus memeriksa pintumu sebanyak 30x kalau nggak kamu merasa rumahmu bakal kemasukan maling dan itu setiap kali mau keluar rumah, mungkin kamu harus periksa ke psikolog terdekat nih.
Penyebab OCD
Di seluruh dunia, OCD memiliki prevalensi sebesar 2-3% (Milad & Rauch, 2012). Penyebab OCD masih belum diketahui secara pasti, tetapi para psikolog menduga jika OCD merupakan gangguan yang bersifat genetis (“Obsessive-compulsive disorder: MedlinePlus Genetics,” 2020).
Hal-hal seperti genetik, biologi dan senyawa kimia di otak, serta lingkunganmu dapat memainkan sebuah peran. Sebuah jurnal review integratif (Bozorgmehr, Ghadirivasfi, & Shahsavand Ananloo, 2017) menyimpulkan jika sistem glutamatergic memiliki peran paling penting sebagai neurotransmitter.
Kesimpulan ini bertolak belakang dengan teori lainnya yang mempertimbangkan pathway otak yang kekurangan serotonin sebagai penyebab utama OCD. Namun, masih ditambahkan bila ini masih hipotesis dan memerlukan lebih banyak studi.
Untuk menyimpulkan, riset mengenai pencegahan dan deteksi dini gangguan mental sudah mulai berkembang, tetapi masih terdapat minim riset pada cara pencegahan kasus OCD (Wade, 2010).
Pilihan untuk penanganan OCD
Untuk menangani OCD, terdapat tiga pilihan yang bisa diberikan kepada individu: psikoedukasi, psikoterapi, serta farmakologi (Obat). Berikut penjelesan mendetail tentang pilihan tersebut:
1. Psikoedukasi
Pasien dengan OCD beserta keluarganya akan merasa lebih tenang apabila diberitahu oleh seorang profesional jika mereka mengalami gangguan yang umum dan sedang dipelajari oleh psikolog profesional (Stein et al., 2019). Terlebih lagi setelah tahu jika tritmen bisa mengurangi gejala secara parsial dan mampu meningkatkan kesejahteraan hidup. Faktor-faktor seperti stigma, peran keluarga dan orang dekat, beserta prasangka yang buruk juga perlu ditangani agar tritmen bisa berjalan dengan baik.
2. Psikoterapi
CBT adalah jenis psikoterapi untuk OCD yang paling didukung oleh sains. Meta-analisis menunjukkan bahwa CBT dapat secara efektif meringankan gejala OCD pada orang dewasa dan anak-anak (Öst, Havnen, Hansen, & Kvale, 2015 ; Öst, Riise, Wergeland, Hansen, & Kvale, 2016).
Ada juga treatment ERP (Exposure Response Prevention) yang bisa membantu gejala OCD. ERP ini secara perlahan menghadapkan stimuli penyebab rasa obsesi/takut kepada pasien OCD dan secara bersamaan meminta pasien untuk menahan rasa kompulsi mereka. Uniknya, ERP dapat membantu pasien dengan insight yang lemah dengan lebih efektif (Hirschtritt, Bloch, & Mathews, 2017).
3. Farmakoterapi (Obat)
Penggunaan obat juga umum untuk memulai perawatan pasien dengan OCD. Berdasarkan efektivitas, keamanan, tolerability dan minimnya potensi pasien untuk menyalahgunakan obat (Soomro, Altman, Rajagopal, & Oakley Browne, 2008), SSRI menjadi tritmen pilihan pertama. Namun, dosis SSRI yang diberikan kepada pasien perlu diperhitungkan secara hati-hati agar tidak menimbulkan efek negatif.
Karena meskipun dosis SSRI mampu menimbulkan berbagai efek samping seperti initial gastrointestinal symptoms dan sexual dysfunction (Bloch, McGuire, Landeros-Weisenberger, Leckman, & Pittenger, 2009). SSRI merupakan singkatan dari Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor yang cara kerjanya menekan penyerapan serotonin di otak.
Penutup
Sekarang gangguan kecemasan OCD menjadi lebih dikenal di masyarakat berkat adaptasi dari media populer yang mengadopsi gangguan mental ini dan terdapat juga media sosial yang melakukan peningkatan social awareness. Penelitian mengenai OCD juga semakin berkembang berkat para peneliti dan psikolog yang sibuk melakukan Riset. Berkat mereka, program-program tritmen bisa dikembangkan dan meringankan gejala pasien. Semoga artikel ini bisa membantu teman-teman agar lebih tahu tentang Obsessive-Compulsive Disorder.
Referensi
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders(5th ed.). Washington, DC: American Psychiatric Association.
Bloch, M. H., McGuire, J., Landeros-Weisenberger, A., Leckman, J. F., & Pittenger, C. (2009). Meta-analysis of the dose-response relationship of SSRI in obsessive-compulsive disorder. Molecular Psychiatry, 15(8), 850–855. https://doi.org/10.1038/mp.2009.50
Bozorgmehr, A., Ghadirivasfi, M., & Shahsavand Ananloo, E. (2017). Obsessive–compulsive disorder, which genes? Which functions? Which pathways? An integrated holistic view regarding OCD and its complex genetic etiology. Journal of Neurogenetics, 31(3), 153–160. https://doi.org/10.1080/01677063.2017.1336236
Hirschtritt, M. E., Bloch, M. H., & Mathews, C. A. (2017). Obsessive-Compulsive Disorder. JAMA, 317(13), 1358. https://doi.org/10.1001/jama.2017.2200
Obsessive-compulsive disorder: MedlinePlus Genetics. (2020). Retrieved October 17, 2021, from medlineplus.gov website: https://medlineplus.gov/genetics/condition/obsessive-compulsive-disorder/#causes
Öst, L.-G., Havnen, A., Hansen, B., & Kvale, G. (2015). Cognitive behavioral treatments of obsessive–compulsive disorder. A systematic review and meta-analysis of studies published 1993–2014. Clinical Psychology Review, 40, 156–169. https://doi.org/10.1016/j.cpr.2015.06.003
Öst, L. G., Riise, E. N., Wergeland, G. J., Hansen, B., & Kvale, G. (2016). Cognitive behavioral and pharmacological treatments of OCD in children: A systematic review and meta-analysis. Journal of anxiety disorders, 43, 58–69. https://doi.org/10.1016/j.janxdis.2016.08.003
Stein, D. J., Costa, D. L. C., Lochner, C., Miguel, E. C., Reddy, Y. C. J., Shavitt, R. G., … Simpson, H. B. (2019). Obsessive–compulsive disorder. Nature Reviews. Disease Primers, 5(1), 52. https://doi.org/10.1038/s41572-019-0102-3
Soomro, G. M., Altman, D. G., Rajagopal, S., & Oakley Browne, M. (2008). Selective serotonin re-uptake inhibitors (SSRIs) versus placebo for obsessive compulsive disorder (OCD). Cochrane Database of Systematic Reviews, (1). https://doi.org/10.1002/14651858.cd001765.pub3
Wade, A. (2010). The societal costs of insomnia. Neuropsychiatric Disease and Treatment, 1. https://doi.org/10.2147/ndt.s15123