Image default

Mengenal Separation Anxiety Disorder pada Anak

Dalam kehidupan awal seorang anak, orang tua mempunyai arti penting dalam hidup. Kedekatan anak-orang tua terjalin sejak kecil saat anak terpenuhi kebutuhan dasarnya. Anak sering kali bersentuhan dengan orang tua, yang mana sosok orang tua merupakan contact comfort (nyaman karena bersentuhan). Bersentuhan dapat menimbulkan reaksi bagi tubuh untuk melepas hormon endorfin yang menghasilkan perasaan senang. Seringnya bersentuhan akan menimbulkan kelekatan, sehingga seorang anak memiliki ikatan emosional yang kuat dengan orang tua. Oleh karena itu, berpisah dengan orang tua dapat menimbulkan separation anxiety disorder dalam keadaan psikologi anak karena sosok yang memberikan rasa aman dan nyaman berada jauh dari jangkauannya.

Bagaimanapun, ada saat dimana anak harus berpisah dengan orang tuanya untuk sementara waktu entah karena sang anak memasuki usia sekolah/karena orang tua harus berangkat kerja. Orang tua dapat berpikir bahwa perpisahan adalah hal normal/wajar walaupun terkadang tidak tega untuk meninggalkan sang anak. Namun bagi anak, berpisah dengan sosok yang lekat dengan dirinya menimbulkan rasa cemas. Kecemasan yang berlebihan akan menjadi hal yang mengganggu ketika situasi yang mengancam tersebut tidak ada atau tidak seburuk yang dipikirkan. Kecemasan berpisah ini biasanya terjadi ketika anak berusia 2 atau 3 tahun (Lazarus et.al, 2016). Ada beberapa kriteria yang perlu diketahui jika sikap anak sudah berada batas tidak normal sehingga bisa dikatakan anak memiliki gangguan Separation Anxiety Disorder (SAD)/gangguan kecemasan perpisahan.

Table of Contents

Definisi Separation Anxiety Disorder

Meskipun kecemasan dapat terjadi pada orang dewasa, namun artikel ini fokus membahas mengenai gangguan kecemasan perpisahan pada anak. Berikut kriteria diagnosis separation anxiety disorder menurut American Psychiatric Association  (2013):

A. Ketakutan atau kecemasan yang secara perkembangan tidak tepat dan berlebihan tentang perpisahan dari orang-orang yang individu tersebut merasa terikat, sebagaimana dibuktikan oleh setidaknya tiga hal berikut:

  1. Tekanan berlebihan yang berulang saat mengantisipasi atau mengalami perpisahan dari rumah atau dari sosok keterikatan utama.
  2. Kekhawatiran yang terus-menerus dan berlebihan tentang kehilangan sosok keterikatan utama atau tentang kemungkinan bahaya bagi mereka, seperti penyakit, cedera, bencana, atau kematian.
  3. Kekhawatiran yang terus menerus dan berlebihan tentang mengalami kejadian yang tidak diinginkan (misalnya tersesat, diculik, mengalami kecelakaan, jatuh sakit) yang menyebabkan perpisahan dari sosok keterikatan utama.
  4. Keengganan atau penolakan terus menerus untuk pergi keluar, jauh dari rumah, ke sekolah, ke tempat kerja, atau di tempat lain karena takut berpisah.
  5. Ketakutan atau keengganan yang terus-menerus dan berlebihan tentang sendirian atau tanpa sosok yang memiliki keterikatan utama di rumah atau di tempat lain.
  6. Keengganan atau penolakan terus-menerus untuk tidur jauh dari rumah atau pergi tidur tanpa berada di dekat sosok keterikatan utama.
  7. Mimpi buruk berulang yang melibatkan tema perpisahan.
  8. Keluhan gejala fisik yang berulang (misalnya sakit kepala, sakit perut, mual, muntah) saat terjadi atau diantisipasi adanya keterpisahan dari sosok kelekatan utama.

B. Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran terus berlanjut, berlangsung setidaknya 4 minggu pada anak-anak dan remaja dan biasanya 6 bulan atau lebih pada orang dewasa.

C. Gangguan tersebut menyebabkan gangguan atau gangguan yang signifikan secara klinis dalam bidang fungsi sosial, akademik, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

Jadi, gangguan kecemasan perpisahan adalah ketakutan yang berlebihan ketika berpisah dengan sosok yang memiliki kelekatan pada seseorang.

Ciri-Ciri

Selain ciri yang disebutkan pada kriteria diagnosis terdapat beberapa contoh gejala kecemasan ini, diantaranya :

  • Menangis, tantrum atau ledakan emosi, memberontak, menarik diri dari orang lain hingga berguling-guling.
  • Meminta ditemani oleh ibu/sosok kelekatan lain (pengasuh) dan tidak mau berinteraksi dengan guru maupun teman sebaya.
  • Menolak untuk sekolah dan kurang terlibat di dalam proses pembelajaran.

Penyebab Gangguan Kecemasan Perpisahan

  • Pola asuh orang tua

Pola asuh ini berkaitan dengan kelekatan orang tua-anak yang insecure(tidak aman). Adanya perlakuan kekerasan terhadap anak, orang tua yang tidak menyukai kehadiran anak, inkonsisten dan menelantarkan kebutuhan dasar anak baik fisik maupun psikis akan menciptakan rasa ketidakpercayaan sang anak.

Salah satu sikap yang ditunjukkan anak dengan kelekatan tidak aman adalah cemas ketika berpisah dengan orang tua (McLeod, 2008). Kecemasan ini dikarenakan ketakutan anak bahwa orang tua tidak akan kembali lagi atau hal yang buruk akan terjadi ketika berpisah. Dampak dari pola asuh yang insecure membuat anak merasa malu atau ragu-ragu untuk mencoba melakukan aktivitas dan kesulitan dalam bersosialisasi dengan orang lain.

  • Genetik

Seperti penelitian Glover (2014) menemukan bahwa ibu yang cemas ketika hamil menurunkan gennya kepada anak.

  • Lingkungan

Penelitian menunjukkan bahwa faktor biologis maupun faktor lingkungan memiliki andil yang besar dalam SAD anak, dimana faktor lingkungan memberi pengaruh yang lebih besar pada SAD dibandingkan jenis kecemasan lain yang dialami oleh anak (Figueroa, Soutullo, Ono, & Saito, 2012).

  • Psikologis orang tua

Permasalahan lain seperti perceraian orang tua, orang tua yang mengalami depresi juga menjadi faktor risiko anak mengalami SAD

Cara Mengatasi

Kecemasan seperti ini merupakan salah satu bentuk gangguan emosi yang dialami oleh anak sehingga penanganan yang sesuai dibutuhkan untuk mencegah implikasi terhadap gangguan perkembangan yang lebih serius. Solusi dapat dilakukan dengan mengetahui penanganan dari penyebab masalah.

  • Pola asuh orang tua.

Anak yang memiliki pola kelekatan aman (secure) ketika pengasuh menerima, peka dan tanggap terhadap sinyal seorang anak serta dapat mengekspresikan afeksi terhadap anak. Anak yang mempunyai kelekatan aman dapat bergerak jauh lebih bebas meskipun berpisah dengan sosok kelekatan tersebut. Anak tersebut percaya bahwa orang tua/ pengasuhnya tetap ada ketika dibutuhkan. Anak yang telah memiliki konsep trust, otonomi dan inisiatif dalam dirinya cenderung lebih siap untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial yang lebih besar seperti teman sebaya atau lingkungan sekolah (Nasution, 2016). Pola asuh demokratis cenderung membentuk tipe kelekatan yang aman dimana anak yang mempunyai tipe kelekatan aman lebih siap ketika berpisah dengan orang tua dibandingkan anak yang mempunyai tipe kelekatan tidak aman (McLeod, 2008).

Orang tua yang mendukung dan memfasilitasi kegiatan yang disukai anak akan memunculkan kebebasan dalam mengekspresikan kreativitasnya. Seperti yang diungkapkan Baumrind (1966) bahwa anak dengan pengasuhan demokratis lebih bebas dalam bereksplorasi dibandingkan anak dengan pola asuh otoriter. Orang tua yang memberikan kesempatan bagi anak untuk bereksplorasi dan turut memberikan pendapat dalam pemecahan masalah akan membentuk anak yang lebih siap untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Anak yang tumbuh dalam pengasuhan demokratis lebih kompeten dalam lingkungan sosial dibandingkan anak dengan pengasuhan non-demokratis. Pola asuh demokratis memungkinkan orang tua memberikan kebebasan bagi anak untuk bereksplorasi dengan aturan dan kontrol yang jelas sehingga anak juga mempercayai bahwa orang tua ada untuk memberikan bantuan. Penerapan pola asuh demokratis pada anak dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa percaya pada anak. Ketika anak diberikan kesempatan untuk menentukan pilihan dan menyelesaikan permasalahan maka anak akan merasa dipercaya oleh orang tua.

  • Kepedulian orang tua dengan pendidikan anak

Penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua dalam aktivitas pendidikan anak usia dini akan meningkatkan prestasi dan kemampuan adaptasi anak (Powell, Son, File, & Juan, 2010). Dengan melibatkan orang tua, pihak sekolah mengerti tentang perkembangan anak secara menyeluruh, kebutuhan apa yang diperlukan siswa dan mendapatkan informasi untuk meningkatkan pengalaman belajar siswa. Keterlibatan orang tua ketika berada di sekolah dapat berupa partisipasi dalam kegiatan sekolah dan komunikasi dengan guru. Sedangkan ketika berada di rumah orang tua dapat mendampingi aktivitas belajar anak , memperhatikan kebutuhan dasar fisik maupun psikis anak, dan memberikan motivasi anak.

  • Pendidikan di sekolah

Dua lingkungan yang paling berpengaruh pada perkembangan anak adalah keluarga dan pendidikan anak usia dini (Halgunseth, 2009). Proses pembelajaran demokratis juga penting dilakukan oleh guru. Guru tidak hanya memberi instruksi kepada murid namun juga menyediakan fasilitas dan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan murid. Dalam pembelajaran demokratis guru memberi pendampingan dengan kehangatan, kasih sayang dan motivasi bagi murid sehingga murid merasa nyaman ketika berada di lingkungan sekolah. Selain itu guru memberikan kebebasan kepada murid untuk memilih materi yang akan dipelajari ataupun permainan yang akan dimainkan.

  • Tidak berbohong pada anak

Praktik yang sering dijumpai untuk mengatasi kecemasan anak ketika berpisah adalah justru meninggalkan anak dengan diam-diam atau berbohong pada anak. Ini dilakukan agar orang tua lebih mudah ketika meninggalkan anak. Padahal hal ini justru semakin memupuk ketidakpercayaan anak kepada orang tua sekaligus menyebabkan kekecewaan. Dalam hal kecemasan, anak akan merasa bahwa orang tua meninggalkannya di tempat yang tidak aman dan tidak akan kembali lagi. Membangun kepercayaan kembali antara orang tua dan anak berarti menyempurnakan tahap pertama perkembangan sosial emosi sesuai dengan teori Erik Erikson.

Berusaha menepati janji dan tidak menakut-nakuti anak dengan kebohongan merupakan salah satu cara untuk mengembalikan kepercayaan anak. Jika orang tua hendak meninggalkan anak di sekolah maka seharusnya orang tua memberitahukan pada anak dan tidak pergi dengan diam-diam. Orang tua dapat berjanji bahwa anak akan aman di sekolah dan menjemput pada waktu tertentu sehingga anak terbiasa dengan hal tersebut.

  • Teknik fading

Padan (2012) mengutarakan bahwa teknik fading dapat digunakan untuk melatih kemandirian anak dengan kecemasan berpisah melalui tahapan yang terencana. Prosedur fading ini dapat dilakukan dengan kerjasama antara guru dan orang tua murid dengan tahapan berikut :

  1. Menentukan target perilaku yang diharapkan, dalam hal ini anak mau berpisah dengan orang tua dengan tantrum atau ledakan emosi yang minimal.
  2. Menetapkan reward sebagai penguat apabila gejala perilaku yang diharapkan muncul
  3. Orang tua menemani anak pada awal tahap proses secara penuh dan sedikit demi sedikit memberi jarak kedekatan dengan anak hingga anak dapat lebih tenang ketika berpisah dengan orang tua
  4. Jika terdapat proses yang gagal atau anak kembali merasa cemas maka dapat kembali melakukan prosedur tahap sebelumnya

Prosedur ini memungkinkan anak untuk mengobservasi lingkungan sekitar (untuk sementara) masih dalam kondisi nyaman dengan keberadaan orang tua. Ketika anak sudah mulai familiardan beradaptasi dengan lingkungan baru, pendampingan orang tua bisa dikurangi intensitasnya.

  • Kerjasama pihak sekolah dan orang tua

Bentuk kerjasama salah satunya dengan menentukan keputusan bersama guru terkait pembelajaran anak di sekolah. Dalam hal mencegah kecemasan anak, pihak sekolah dapat memberikan penyuluhan terkait issu kecemasan pada anak sementara orang tua dapat memberikan informasi menyeluruh mengenai kondisi anak kepada pihak guru. Pertukaran informasi ini dapat memahamkan satu sama lain mengenai kondisi anak.

Secara tidak langsung, komunikasi dapat dilakukan melalui buku penghubung maupun alat komunikasi. Orang tua maupun guru dapat memberikan apresiasi atau penghargaan kepada anak baik di rumah maupun di sekolah apabila anak menunjukkan kemauan untuk membaur dan berpisah dari orang tuanya. Untuk melakukan hal ini kedua pihak perlu selalu bertukar informasi mengenai kemajuan kemandirian anak.

  • Komunitas

Orang tua dapat mengajak anak untuk berinteraksi dengan orang lain dalam berbagai komunitas. Komunitas ini dapat berupa komunitas membaca maupun aktivitas lainnya. Hal ini bertujuan untuk membiasakan anak untuk beraktivitas dengan orang lain dan menyadarkan anak bahwa aktivitas tersebut menyenangkan. Anak yang terbiasa bersosialisasi akan lebih mudah dalam beradaptasi di lingkungan baru nantinya.

  • Peer support

Peer support atau dukungan teman sebaya dapat dilakukan di lingkungan sekolah. Dalam konteks ini guru dapat meminta murid lain untuk mengajak anak yang cemas bermain atau beraktivitas bersama secara konsisten. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa murid lain di sekolah tersebut menerima kehadiran anak dan ingin bermain bersama dengan anak tersebut.

Epilog

“Ingat: kamu bukan sedang mengatasi masalah. Kamu sedang membesarkan seorang manusia.”

– Kittie Frantz

Referensi:

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (Fifth Edition)
. Arlington : VA,
American Psychiatric Association

Baumrind, D. (1966). Effects of authoritative parental control on child behavior. Child development, 887-907.

Figueroa, A., Soutullo, C., Ono, Y., & Saito, K. (2012). Separation anxiety. IACAPAP e-textbook of child and adolescent mental health. International Association for Child and Adolescent Psychiatry and Allied Professions. Diakses dari : https://iacapap.org/content/uploads/F.2-SEPARATION-ANXIETY-300812.pdf

Halgunseth, L. (2009). Family engagement, diverse families and early childhood education programs; An integrated review of the literature. Young Children, 64(5), 56-58

Lazarus, R.S., Dodd, H.F., Majdadzic, M., Vente, W., Morris, T., Byrow, Y., Bogels, S.S., & Hudson, J.L. (2016). The relationship between challenging parenting behaviour and childhoof anxiety disorders. Journal of Affevtive Disorders, 190, 784-791

McLeod, S. A. (2008). Erik Erikson | Psychosocial Stages -Simply Psychology. Retrieved from http://www.simplypsychology.org/Erik-Erikson.html

Nasution, F. (2016). Peran kualitas kemelekatan anak terhadap perilaku sosial. Raudhah, 4(2).

Padan, W.H. (2012). Efektivitas fading untuk meningkatkan kemampuan duduk sendiri di kelas pada anak yang mengalami separation anxiety disorder (SAD). Proceeding Temu Ilmiah Nasional Psikologi Pendidikan Anak Usia Dini. Diakses dari : https://repository.uksw.edu/handle/123456789/7396

Powell. D. R, Son, S. H., File, N., & Juan, R. R. (2010). Parent-school relationships and children‟s academic and social outcomes in public pre-kindergarten. Journal of School Psychology, Vol. 48, pp. 269-292

Artikel Terkait

Leave a Comment