Setiap ibadah berfokus pada pengabdian seorang umat terhadap Tuhan, dan bagaimana ia mencari pahala dari perbuatannya. Apabila Teman-teman beragama Islam, kalian tahu bahwa berpuasa adalah salah satu rukun Islam, bahkan merupakan rukun Islam yang ketiga setelah mengucapkan kalimat syahadat dan menjalankan shalat lima waktu. Puasa yang wajib atau fardhu dalam ajaran Islam dijalankan selama 30 hari di bulan Ramadhan, namun ada juga ibadah puasa sunnah yang dijalankan pada waktu-waktu tertentu.
Belakangan ini, pembahasan mengenai psikologi Islam semakin lama semakin luas. Salah satu topiknya adalah mengenai kaitan ibadah dan kehidupan spiritual dengan kesejahteraan mental. Maka dari itu, di kesempatan kali ini, ibadah yang akan kita bahas adalah mengenai berpuasa dan keutamaannya dilihat dari kacamata ilmiah.
Dalil-Dalil Keutamaan Berpuasa Menurut Agama Islam
Menjalankan ibadah puasa bagi umat Islam ditegaskan dalam Alquran dan Hadist. Dalam surah Al-Baqarah ayat 183, Allah SWT berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. 2:183) Kemudian, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah SWT, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari) Berpuasa juga bisa melatih diri kita untuk mengendalikan hawa nafsu dan amarah, seperti yang dinyatakan dalam Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah, “Ketika seorang muslim berpuasa, ia tidak boleh mengeluarkan perkataan kasar atau meninggikan suara ketika marah. Jika ada seseorang yang menghinanya, sebaiknya ia berkata, “aku sedang berpuasa.” (HR Muslim) Namun tentu saja, berpuasa harus diawali dengan niat terlebih dahulu, yakni untuk beribadah dan tidak dengan terpaksa. Karena puasa adalah suatu bentuk ibadah pensucian diri dalam rangka mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dari Abu Sa’id Al-Khudry, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang puasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim.” (HR Bukhari & Muslim)
Maka dari itu, berdasarkan ajaran Islam, setiap Muslim sudah seharusnya mengutamakan ibadah puasa dibandingkan ibadah lainnya, di samping menjalankan shalat lima waktu. Selain berpuasa Ramadhan, berpuasa sunnah juga memiliki keutamaan. Puasa sunnah ini banyak macamnya, antara lain puasa Arafah, puasa enam hari bulan Syawal, puasa Muharram, dan puasa Senin-Kamis. Banyak sekali Hadist yang mendukung keutamaan puasa sunnah. Di antaranya, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa berpuasa Ramadhan, kemudian melanjutkan dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal, maka seperti ia berpuasa sepanjang tahun.” (HR Muslim) Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda, “Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR Tirmidzi) Dengan kata lain, berpuasa sunnah, apa pun bentuknya, berfungsi sebagai pelengkap amal bagi umat Islam yang mendampingi amalan-amalan wajib.
Manfaat Berpuasa bagi Kesehatan Fisik dan Mental
Ada sebuah artikel yang ditulis oleh seorang kontributor Insider, Qayyan Moynihan, yang cukup menarik untuk dibaca. Moynihan menyatakan bahwa sejak menjalankan puasa Ramadhan, ia merasakan perubahan positif pada dirinya, mulai dari berkurangnya kecemasan dan depresi yang dirasakannya, perbaikan pola makan, serta munculnya apresiasinya terhadap hal-hal kecil. Moynihan sempat menyebut bahwa ia pernah mengalami depresi disebabkan oleh diskriminasi yang dialaminya, serta hubungan yang kurang baik dengan keluarganya. Ia sempat tidak menjalankan ibadah puasa bertahun-tahun karena ingin menyembunyikan identitas agama dan rasnya. Namun setelah akhirnya ia kembali berpuasa, ia mulai merasakan manfaat berpuasa bagi well being-nya, secara fisik dan mental. Pengalaman Moynihan mengenai puasa Ramadhan ini tidak hanya menandai penerimaan terhadap dirinya sendiri, tetapi juga menggarisbawahi keutamaan berpuasa bagi yang menjalankannya, dan itu telah terbukti secara ilmiah, lho!
Sebuah riset dari Patterson, dkk. (2015) meng-highlight keutamaan berpuasa bagi kesehatan tubuh. Efek positif berpuasa menurut riset ini adalah mengurangi kadar glukosa dalam darah, lipoprotein, dan kolesterol. Selain itu, riset lain yang dilaksanakan oleh Laher, dkk. (2017) melaporkan bahwa efek utama berpuasa bagi kesehatan fisik adalah mengurangi asupan kalori dan dapat membantu mengontrol metabolisme tubuh.
Bagaimana dengan efek berpuasa secara psikologis? Riset terkini yang mengkaji hal ini dilakukan oleh Gilavand dan Fatahiasl (2018), bertempat di Iran. Hasilnya, kebanyakan partisipan yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan memiliki kesehatan mental yang cenderung lebih tinggi ketimbang partisipan yang tidak menjalankan ibadah puasa karena alasan-alasan religius tertentu. Selain itu, berpuasa juga berperan dalam mengurangi gejala depresi dan kecemasan, meningkatkan kecerdasan emosi, dan meningkatkan kesejahteraan mental, disebabkan karena adanya nilai-nilai religius yang dianut oleh individu yang menjalankannya.
Selain itu, ada pula riset dari Koushali, dkk. (2013) yang melaporkan efek positif berpuasa Ramadhan bagi reaksi emosional para perawat. Diketahui bahwa selepas Ramadhan, tingkat depresi dan stres partisipan berkurang secara signifikan apabila dibandingkan dengan sebelum Ramadhan. Kemungkinan hal ini juga disebabkan karena selama Ramadhan berlangsung, partisipan tidak hanya berpuasa, tetapi juga melaksanakan ibadah lain seperti membaca Alquran, mendengarkan ceramah agama, dan melaksanakan shalat lima waktu, sehingga studi ini juga mengkonfirmasi riset sebelumnya dari Rajaei (2010) mengenai efek spiritualitas terhadap kesembuhan individu dengan gangguan mental.
Efek Samping Berpuasa Bagi Orang Sakit Keras dan Gangguan Mental
Kita sudah tahu bahwa berpuasa memiliki banyak manfaat dan keutamaan dari segi psikologi maupun agama, tapi bagaimana dengan orang yang sakit keras atau golongan-golongan yang tidak mampu berpuasa?
Nah, rupanya, ada juga riset yang membahas tentang hal ini, lho! Sebuah riset yang dilaksanakan tahun 2019 oleh Chehovich, Demler, dan Leppien di New York mengkaji efek samping berpuasa bagi penderita gangguan skizoafektif tipe depresif. Berdasarkan studi ini, pengurangan tidur di malam hari pada bulan Ramadhan dapat mempengaruhi kesehatan partisipan. Komplikasi terkait kesehatan tambahan yang telah dilaporkan termasuk dehidrasi dan perubahan glukosa darah, tekanan darah, panel lipid, berat badan, dan eksaserbasi gejala kejiwaan. Efek samping ini dapat mengakibatkan komplikasi serius pada individu yang berpuasa dengan penyakit medis dan psikiatri akut. Sebuah riset lain oleh Heun (2018) juga mengkonfirmasi bahwa puasa dapat berefek terhadap relapse individu dengan gangguan skizofrenia dan bipolar disorder. Hal ini dikarenakan kurangnya waktu tidur yang cukup dan pola makan yang berubah karena menjalankan puasa, sehingga juga berefek terhadap sistem metabolisme tubuh dan menjadi trigger bagi depresi dan episode manik pada bipolar disorder. Penelitian Chehovich, dkk. (2019) dan Heun (2018) secara tidak langsung mengkonfirmasi aturan Islam tentang berpuasa bagi orang dengan gangguan jiwa. Orang dengan gangguan jiwa yang parah dalam Islam tidak perlu membayar fidyah apabila tidak melaksanakan puasa, karena tidak termasuk dalam golongan mukallaf, yakni orang yang memiliki kewajiban syariat. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadist dari Abu Daud, Rasulullah SAW bersabda, “Pena catatan amal itu diangkat untuk tiga orang, orang gila yang hilang akal sampai dia sadar, orang yang tidur sampai dia bangun, dan anak kecil sampai dia baligh.” (HR. Nasa’i, Abu Daud, & Tirmidzi) Maka dari itu, memang tidak wajib bagi golongan individu yang memiliki gangguan mental kronis untuk melaksanakan puasa, namun ada baiknya kita juga mendukung mereka untuk self healing, karena riset melaporkan bahwa setiap dukungan sosial yang diberikan oleh orang terdekat akan memberikan efek positif bagi pemulihan diri individu dengan gangguan skizofrenia (Monshed & Amr, 2020).
Kemudian, sebuah riset berbasis kedokteran oleh Berbari, Mallat, Daouk, dan Jurjus (2012) juga menyatakan bahwa berpuasa di bulan Ramadhan tidak dianjurkan bagi orang yang memiliki penyakit ginjal kronis (CKD), karena akan menyebabkan penurunan signifikan terhadap fungsi organ, begitu pula bagi individu yang memiliki penyakit jantung, dan sickle-cell disease (sejenis kelainan sel darah merah yang menyebabkan anemia). Tapi tetap saja, sesuai aturan dalam Alquran, apabila seorang Muslim pernah tidak berpuasa karena sakit keras, ia tetap harus membayar ‘hutang’ puasa tersebut karena masih termasuk golonganmukallaf. Hal ini ditegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 185, di mana Allah berfirman,
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Q.S. 2:182)
Untuk menutup artikel ini, saya ingin menyampaikan bahwa setiap ibadah yang dilaksanakan oleh agama apa pun, apabila sesuai dengan ketentuan, akan menjadi kebaikan bagi kita sendiri. Dan kepada sesama Muslim sekaligus pelajar, ada baiknya kita terus menggali fakta di balik firman-firman Allah, sebab di sanalah kita akan menemukan bahwa apa yang kita kerjakan sesungguhnya tidaklah sia-sia. Seperti yang tertuang dalam surah Al-Alaq: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. 96:1-5)
Wallahu a’lam bishawab, kebenaran mutlak memang hanya milik Tuhan, namun sebagai manusia yang berakal, marilah kita selalu belajar dan mencari tahu, berusaha mengulik kebenaran alam semesta, dan memberikan pengetahuan yang bermanfaat kepada orang lain.
Kak, aku izin copy artikel ini ya kaa, buat referensi tugas bahasa indonesia. Terima kasih kak