Pernahkah kamu berpikir, kenapa kita seringkali bisa ‘nyambung’ kalau bicara dengan orang tertentu, sementara dengan orang lain tidak? Beberapa penyebabnya bisa dikarenakan jenis kelamin, usia, atau latar belakang pendidikan.
Namun secara kognitif, ternyata ada perbedaan pola pikir yang menghasilkan perbedaan gaya komunikasi dan cara berinteraksi kita dengan orang lain. Bagaimana itu bisa terjadi?
Itu Karena Sociotype Kalian Berbeda!
Ada teori yang membahas perbedaan menangkap informasi ini. Teori itu adalah teori Socionics. Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Aushra Augusta dari teori information metabolism dan teori fungsi kognitif Carl Jung.
Dilansir dari Pietrak (2017), teori ini menyatakan bahwa interaksi antar manusia dapat berbeda-beda tergantung dari cara memproses informasi secara kognitif.
Gampangnya, menurut Socionics, orang yang suka berpikir sebelum bertindak tentu akan sulit berinteraksi dengan orang yang cas-cis-cus alias gercep. Perbedaan antara kecenderungan ini disebut dengan Sociotype.
Secara konsep, teori Socionics memiliki kemiripan dengan teori Myers-Briggs. Bedanya, apabila Myers-Briggs menyebut komponen kepribadian sebagai susunan fungsi kognitif (cognitive function stack), teori Socionics menyebutnya ego blocks.
Namun secara penggunaannya, sama saja. Jumlah tipe kepribadiannya pun sama, yaitu enam belas dengan empat huruf. Kelebihannya, Socionics mampu menjelaskan kecocokan antar kepribadian berdasarkan fungsi kognitifnya, sementara Myers-Briggs tidak.
Keempat jenis fungsi kognitif yang dimaksud itu antara lain sensors, intuitives, thinkers, dan feelers. Keempat fungsi kognitif ini memiliki karakteristiknya masing-masing berdasarkan pola interaksinya:
Sensors | Cenderung pragmatis, tidak suka basa-basi, menghindari topik yang terlalu fantastis atau tidak berhubungan dengan hal-hal di dunia nyata. |
Intuitives | Menyukai ide-ide dan kreativitas, cenderung mencari makna di balik suatu peristiwa, percaya bahwa segala perilaku atau kejadian punya keterkaitan. |
Thinkers | Prosedural dan logis, tidak suka membuang-buang waktu untuk diskusi yang tidak penting, to the point. |
Feelers | Empatik, mudah terbawa emosi, memperlihatkan perasaannya dengan terbuka melalui karya atau perilaku. |
Jika kalian ingin mencari tahu lebih rinci mengenai perbedaan keempat jenis fungsi kognitif ini, kalian bisa membaca artikel lain mengenainya di web ini. Namun, kali ini kita akan membahas tentang interaksinya saja.
Yakin Kamu dan Dia Cocok?
Entah dalam persahabatan atau hubungan romantis, perbedaan gaya interaksi bisa jadi penyebab kesalahpahaman. Maka dari itu, penting bagi kita untuk mengetahui gaya interaksi sahabat/pasangan kita untuk membangun hubungan yang sehat.
Bagaimana caranya? Coba ajak sahabat/pasanganmu menjawab tiga pertanyaan di bawah ini!
1. Hal-hal seperti apa yang paling menarik untuk kamu bicarakan?
a. Hal-hal nyata dan konkrit, seperti kejadian sehari-hari.
b. Topik yang memicu deep talk, misalnya teori atau makna di balik peristiwa.
c. Banyak hal, tapi akan lebih seru kalau memicu brainstorming.
d. Peristiwa-peristiwa yang membawa makna emosional bagimu.
2. Bagaimana kamu merespon kejadian yang menguras emosi, misalnya kehilangan orang terdekat atau dimarahi bos?
a. Mengabaikannya, lalu bersikap seolah tak terjadi apa-apa.
b. Mencurahkan rasa sakit melalui tulisan atau status di sosmed.
c. Memproses peristiwa yang terjadi dengan perenungan mendalam.
d. Menyibukkan diri atau memikirkan sesuatu yang lebih penting.
3. Bayangkan saat ini kamu harus membuat argumen untuk menyangkal kebijakan pemerintah. Argumen manakah yang akan kamu buat?
a. Argumen yang memperhatikan efek kebijakan itu terhadap perasaanmu maupun orang-orang yang terlibat.
b. Argumen yang panjang dan mendetail, karena kamu juga mempertimbangkan efek jangka panjang kebijakan terhadap aspek-aspek tertentu.
c. Argumen yang berdasarkan kerangka logika berpikir sistematis mengenai apa yang efektif dan efisien dalam kebijakan itu.
d. Argumen yang singkat, padat, dan jelas, asalkan bisa mencakup segala hal yang kamu permasalahkan dalam kebijakan itu.
Gaya Interaksi
Setelah menjawab tiga pertanyaan di atas, cobalah renungkan baik-baik.
1A, 2A, dan 3D adalah pola pikir seorang sensor. |
1B, 2C, dan 3B adalah pola pikir seorang intuitive. |
1C, 2D, dan 3C adalah pola pikir seorang thinker. |
1D, 2B, dan 3A adalah pola pikir seorang feeler. |
Nah, setelah mengetahui mana kecenderungan pola pikirmu dan dia, kita akan menggali lebih lanjut bagaimana kalian berinteraksi.
1. Intuitive & Intuitive
Para intuitives biasanya digambarkan sebagai orang-orang yang memiliki firasat kuat dan imajinasi yang tinggi. Jika mereka berkomunikasi dengan sesamanya, mereka cenderung mengobrolkan topik-topik di luar kebiasaan.
Misalnya, bagaimana jika gajah bisa terbang? Atau bagaimana jika Indonesia punya kereta bawah tanah untuk membantu transportasi darat? Mereka juga tidak terlalu suka dengan small talk atau basa-basi saat mengobrol.
Karena itulah, cara mereka melakukan diskusi bisa sangat mendalam. Para intuitives akan menjadi pasangan yang serasi bila mereka bisa mengatasi tantangan-tantangan dalam hubungan.
2. Intuitive & Sensor
Dalam teori Myers-Briggs maupun Socionics, intuitives dan sensors dikenal sebagai para perceivers. Artinya, mereka sama-sama suka mengeksplorasi dan mencari tahu. Bedanya, intuitives lebih idealis, sedangkan sensors lebih pragmatis.
Jika orang intuitive bertemu dengan orang sensor, percakapan yang dihasilkan akan sangat bertolak belakang. Kedua tipe kepribadian ini akan saling melengkapi apabila mereka saling menerima gaya bicara dan pola pikirnya masing-masing.
Memang agak sulit di awal untuk menemukan titik kompromi, namun tidak ada salahnya jika kamu dan dia mau mencobanya, kok!
3. Intuitive & Thinker
Kedua tipe ini pastinya akan sangat berbeda, terutama dari caranya menghadapi situasi-situasi dalam hidup. Thinkers biasanya akan mengedepankan alasan yang logis dan prosedur yang sistematis menurut kerangka berpikir yang mereka susun.
Berbeda dengan intuitives yang cenderung berandai-andai, thinkers mendekati suatu permasalahan dengan sistematis.
Mungkin kedengarannya akan sulit menjalin hubungan di antara keduanya, namun ingat, intuitives adalah orang-orang yang suka ngide, makanya mereka butuh thinkers untuk membantu mewujudkan ide tersebut.
Sementara thinkers butuh pola pikir visioner intuitives untuk membantu mereka melakukan problem solving dengan kreatif.
4. Intuitive & Feeler
Seperti halnya interaksi dengan tipe berbeda lainnya, para intuitives dan para feelers mungkin akan merasa kurang cocok satu sama lain di awal bertemu.
Namun, kecenderungan feelers yang mampu menunjukkan empati dan mengolah perasaan dengan baik bila bersama orang lain bisa menjadi kekuatan hubungan keduanya.
Di sisi lain, intuitives akan membantu feelers untuk lebih terbuka dengan pilihan-pilihan hidupnya, sehingga mereka tidak terus menerus berkubang dalam emosi yang berkecamuk. Ingat, saling pengertian itu dibutuhkan untuk hubungan yang lancar!
5. Sensor & Sensor
Tipe yang sama biasanya akan berpikir menggunakan pola yang sama. Hal inilah yang terjadi apabila para sensors bertemu. Sama seperti para intuitives, para sensors suka mencari pengalaman baru, namun mereka lebih mengedepankan sensasi dan kepuasan inderawi yang mereka dapatkan dari pengalaman itu.
Misalnya, perasaan puas karena berselancar, naik flying fox, atau sekedar cuci mata dari jalan-jalan melihat pemandangan. Jika mereka bisa saling berkompromi dengan baik, para sensors akan menjadi tim yang solid.
6. Sensor & Thinker
Lagi-lagi dengan tipe kepribadian yang berbeda, tantangannya pun akan semakin berat. Sensors yang cenderung tidak mau berpikir panjang bisa menimbulkan masalah bila mereka tidak mau mengikuti cara thinkers dalam melakukan problem solving.
Di sisi lain, para thinkers yang cenderung kaku bisa jadi hambatan bagi sensors yang ingin mengeksplorasi. Namun, bila di antara kedua tipe ini bisa saling memahami perbedaan mereka, sensors akan membantu thinkers merasakan indahnya hidup dengan luwes, sementara thinkers akan membantu sensors untuk lebih sistematis.
7. Sensor & Feeler
Tantangan berhubungan antara sensors dan feelers pun tak terhindarkan. Namun tentu saja, bila mereka mampu menghargai satu sama lain, mereka bisa menjadi pasangan yang baik.
Feelers bisa menjadi support system bagi sensorsapabila mereka melakukannya di waktu yang tepat. Hal ini dikarenakan sensors terkadang mengesampingkan emosi dan lebih fokus pada keadaan yang sedang mereka alami.
Sementara sensors yang cenderung hidup here and now akan membantu feelers untuk lebih membumi dan tidak terlalu mengandalkan emosi saat mengambil keputusan.
8. Thinker & Feeler
Para thinkers dan para feelers dikenal sebagai judgers, baik dalam teori Myers-Briggs maupun Socionics. Judgers adalah orang-orang yang cenderung tidak bisa diganggu gugat saat memutuskan sesuatu, berbeda dengan perceivers yang lebih luwes.
Jika para thinkers dan para feelers ingin menjadi pasangan yang solid, mereka harus mau terbuka satu sama lain dan membangun komunikasi yang baik, karena kedua kepribadian ini sangat bertolak belakang.
Thinkers cenderung mengedepankan logika ketimbang emosi, seperti yang dilakukan feelers. Sebaliknya, feelers akan menganggap thinkers sebagai orang-orang yang ‘tidak berperasaan’ karena tidak terbuka secara emosional.
9. Thinker & Thinker
Menjadi sesama thinkers bisa memudahkan interaksi, namun di sisi lain, antar thinkers pun tak terhindar dari cekcok karena berbeda pendapat.
Apabila hal ini terjadi, akan lebih baik apabila sesama thinkers meluangkan waktu untuk berdiskusi bersama. Brainstorming adalah sesi yang paling ideal untuk mempertemukan para thinkers yang berkonflik, karena dalam sesi ini akan banyak problem yang bisa dipecahkan untuk memperoleh win-win solution.
10. Feeler & Feeler
Antar feelers bisa menjadi tim yang hebat apabila kalian saling terbuka secara emosional satu sama lain. Namun, apabila kamu dan dia sama-sama feelers, kalian harus berhati-hati, karena sesama perasa pun bisa membuahkan perselisihan.
Apabila antar feelers saling berbeda pendapat, cara yang tepat untuk meluruskannya adalah bicara dari hati ke hati. Dengan demikian, segala unek-unek dan masalah yang dipendam bisa tercurahkan dengan baik.
Penutup
Nah, dari artikel ini, kita sudah belajar tentang perbedaan cara berinteraksi antar tipe kepribadian menurut Socionics. Apabila kamu masih penasaran dan ingin mengetahui apa kepribadian Socionics-mu, kamu boleh iseng-iseng mencari tahu melalui website sociotype.com yang didedikasikan sebagai website riset teori Socionics.
Tapi ingat, mau seperti apa pun kepribadian kamu dan dia, kunci dari hubungan yang harmonis adalah komunikasi yang efektif. Jangan pernah memendam masalah bila kalian tidak mau masalah itu menjadi gunung es yang semakin besar.
Di samping itu, memelihara hubungan harus mengandalkan dua belah pihak. Kalian tidak bisa mencapai keseimbangan bila hanya salah satu yang berjuang sendirian.
That’s all. Semoga artikel ini bermanfaat, ya!
References:
- Filatova, E. (2006). Understanding the People around You: An Introduction to Socionics. Hollister, CA: MSI Press
- Quenk, N. (2009). Essentials of Myers-Briggs Type Indicator Assessment, 2nd ed. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc.