friendzone

3 Cara Ampuh Keluar Dari FRIENDZONE!

Katanya sih saling suka, tapi kok dia cuma suka kamu sebagai teman?

Friendzone (zona teman) kerap menjadi mimpi buruk semua orang yang masih menggeluti dunia pencarian cinta. Hati yang bingung karena ditolak, tetapi masih diterima sebagai teman untuk ada di samping dia. Jangan-jangan kamu cuma digantung dan dia tidak ada niat untuk memberimu kesempatan kedua. 

Eits, jangan jadi sad boy atau sad girl dulu, berikut ada 3 tips untuk keluar dari friendzone!

Table of Contents

1. Pendekatan yang “Psikologis”

Ada banyak cara orang-orang melihat, mendeskripsikan, atau menentukan cinta. Banyak yang melihat cinta dari sudut pandang stabilitas finansial dan masa depan yang bahagia. Ada juga pasangan yang menilai cinta dan pasangan sebagai takdir sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Yang pasti, cinta itu subjektif, yaitu bisa berbeda antara tiap-tiap orang. 

Masih ingat teori cinta Sternberg? Kalau lupa, coba dibaca lagi artikel teori cinta ini karena di situ kamu akan diajarkan berbagai jenis cinta yang ada. Perlu diingat bahwa memasuki friendzone bukanlah akhir dalam perjuanganmu untuk cinta. Jika kita berangkat dari teorinya beliau, hubungan Pertemanan masih kekurangan aspek passion dan commitment apabila ingin menjadi cinta yang ideal (Sternberg, 1986). Nah kalau begitu caranya bagaimana?

Sepertinya tidak masuk akal bila kukatakan Anda perlu “menggoda lawan jenis agar memunculkan aspek nafsu” bukan? Sepertinya lebih realistis jika anda mengincar compassionate love, yang sering disebut; HTS (Hubungan Tanpa Status), TTM (Teman Tapi Mesra), dan semacamnya.

Caranya? Ya dengan berada di samping orang yang Anda sukai itu dan “melawan hujan dan badai” bersamanya. Bisa dimulai sebagai tukang ojek yang mengantar dia kemana-mana, lanjut menjadi tempat curhatan dia, lalu menjadi orang yang mendampingi dia selamanya.  

2. Memeriksa Jika Masih Ada Harapan Untuk Menjadi “Lebih dari Teman”

Sering kali Friendzone terjadi saat salah satu menginginkan lebih, sedangkan pihak lainnya merasa cukup jadi teman saja. Untuk keluar dari friendzone, kita perlu mempelajari prinsip scarcity. Inti dari prinsip ini adalah “Orang-orang lebih menghargai sesuatu apabila langka atau diambil dari mereka” (Cialdini, 2009).

Coba dipikirkan hal-hal yang kau berikan secara cuma-cuma kepada temanmu yang melakukan friendzone ke kamu. Perhatian? Jasa antar-jemput? Sampai Makanan/minuman yang sering kali kamu bayar karena kamu suka dia. 

Tarik semua “jasa-jasa” yang kau berikan secara cuma-cuma itu. Kalau “temanmu” itu benar-benar menghargaimu, mereka akan merasa rindu dan (mungkin) dapat meningkatkan keinginan mereka untuk memenuhi keinginan kamu. Kalau dia ikut menghilang dan tidak pernah kontak kamu lagi, lebih baik move on dan cari gebetan lain saja kawan. Pertahankan juga pertemanannya, tetapi tinggalkan harapan untuk menjadi pacar dia. 

Kamu juga perlu melalui tahap “Healing” tetapi bukan healing yang menghamburkan uang ya. Secara khusus, healing kondisi badanmu agar lebih sehat dan kuat. Selama riset, aku menemukan jurnal terhadap persepsi (khususnya pada ciri/sifat) dan ketertarikan.

Jurnal itu membahas saat para wanita menilai laki-laki mereka lebih setuju dengan trait perception mereka, dibandingkan saat laki-laki menilai perempuan. Menurut Jurnal Predicting Romantic Interest at Zero Acquaintance: Evidence of Sex Differences in Trait Perception but Not in Predictors of Interest, menemukan bahwa ketertarikan romantis diprediksi oleh Physical Attractiveness. 

Jadi selama ini memang benar jika syarat utama dapat pacar adalah muka dan/atau badan yang bagus. Secara khusus, orang-orang menilai diri mereka lebih rendah dibandingkan penilaian orang lain. Contohnya, kamu menilai penampilanmu 4/10 tetapi orang lain melihatmu sebagai 8/10. Mungkin ini tanda untuk rendah hati dan hidup sehat? Mungkin saja.

3. Mengubah Rasa Deg-Degan jadi Rasa Cinta

Menciptakan skenario “Love Bridge” Penelitian pada tahun 1962 ini awalnya dilakukan untuk menunjukkan fenomena ketika orang-orang salah menduga penyebab stimulasi fisik yang terlalu tinggi. Lebih spesifiknya dikenal sebagai “Two factor theory of love”, sebuah konsep yang ditarik dari “Two factor theory emotion” dari Stanley Schachter dan Jerome Singer pada tahun 1962. 

Secara singkat, “Two Factor Theory Emotion” menemukan bahwa subyek dalam “unexplained state of arousal” akan menggunakan petunjuk dari sekitarnya untuk melabeli keadaan emosional mereka. Ada banyak contoh kegiatan yang bisa dilakukan, umumnya konsep ini berlaku pada aktivitas yang membuat kita senam jantung. Senam jantung itu kegiatan yang membuat hatimu berdegup kencang “dag-dig-dug”. 

Kalau masih belum kepikiran macam-macam aktivitasnya, ada beberapa contoh seperti:

  • Menonton film horror bersama
  • Mencoba atraksi/pertunjukan yang menegangkan (RollerCoaster, Bianglala, dll)
  • Kabe-don! (kalau sering nonton anime pasti paham)
  • Ean masih banyak lainnya

Di situasi tersebut, individu akan kesulitan untuk mengenali emosi yang dia rasakan dan salah melabelinya dengan perasaan cinta. Para partisipan dalam riset Dutton dan Aron (1974) (pada setting lab) yang serupa, mereka salah menginterpretasi perasaan cemas sebagai ketertarikan. Bisa nih dipakai strateginya untuk memantik api percintaan di dalam hubunganmu agar keluar dari friendzone, tetapi tidak ada jaminan 100% berhasil ya.

Penutup

Untuk keluar dari friendzone, singkatnya begini teman-teman:

  1. Fokus dan kembangkan diri sendiri
  2. Gunakan beberapa strategi 
  3. Jangan tergesa-gesa atau memaksa dirimu kepada dia. Jangan sampai keinginanmu untuk menjadi pacar melibatkan kegiatan yang merendahkan dirimu sendiri
  4. Kenali kapan saat melanjutkan hubungan atau berhenti berusaha untuk keluar dari friendzone
  5. Jangan “selalu ada” untuk “temanmu”, karena kamu juga perlu waktu untuk dirimu sendiri
  6. Jalani hubungan timbal-balik dengan teman-temanmu yang sudah ada. 

Apakah isi artikel ini bisa digunakan di situasi nyata? Bisa dikatakan begitu, tetapi hasilnya tidak absolut (hasil akan berbeda bagi masing-masing individu). Hal ini disebabkan oleh jumlah penelitian dalam percintaan yang kurang banyak dan kurang mendalam.

Ada juga faktor keunikan tiap individu dalam Love Language, kepribadian, ciri-ciri pasangan yang disukai (misalnya dia suka nice guy atau bad boy) dan masih banyak lainnya. Semoga kedepannya akan ada lebih banyak artikel yang bisa menjelaskan fenomena ini dengan detail. Best of luck!

References

  • Cialdini, R. (2009). Influence: Science and practice. Boston: Allyn and Bacon.
  • Dutton, D. G., & Aron, A. P. (1974). Some evidence for heightened sexual attraction under conditions of high anxiety. Journal of Personality and Social Psychology, 30(4), 510–517. https://doi.org/10.1037/h0037031
  • Schachter, S., & Singer, J. (1962). Cognitive, Social, and Physiological Determinants of Emotional State. Psychological Review, 69, pp. 379–399.
This entry was posted in Romansa on by .

About K. Lintang Mahadewa

Saat ini, Lintang Mahadewa adalah mahasiswa psikologi di UGM. Karena merasa bosan dan ingin mencari pengalaman, Lintang saat ini menjadi content writer dan ghostwriter dengan jumlah artikel 50+. Lintang mengetik dengan sudut pandang ketiga, karena membuatnya merasa lebih nyaman dan tidak cringe. Namun, akan ada saat dimana Lintang “merasa humoris” dan melontarkan lelucon ala bapak-bapak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *