Menghadapi masa lalu memang tidak mudah, apalagi bila masa lalu kita bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Tak jarang kejadian yang kurang mengenakkan itu bisa datang kembali dalam benak kita, memaksa kita untuk mengingatnya.
Memang, kita tidak bisa sepenuhnya mengendalikan apa yang sudah terjadi. Tetapi, jika kenangan masa lalu yang tak mengenakkan itu sampai mengganggu keseharianmu, ada kemungkinan bahwa kamu masih harus membereskan hal tersebut.
Lalu, bagaimana caranya kita melatih diri kita untuk tidak stuck dengan kejadian di masa lalu? Pastinya, usahanya tidak cuma dari dirimu, melainkan juga dari orang-orang di sekitarmu. Selengkapnya, yuk, baca artikel ini sampai tamat!
1. Menerima Kejadian di Masa Lalu Sebagai Bagian dari Hidup Kita
Menurut psikolog Viktor Frankl yang mengarang buku Man’s Search for Meaning, pengalaman kita di masa lalu adalah sesuatu yang berharga dan memberi makna terhadap hidup. Maka dari itu, jangan pernah mengartikan kejadian di masa lalu–seburuk apa pun itu–sebagai sesuatu yang sia-sia, apalagi kutukan.
Justru dengan mengalaminya, kita bisa belajar menjadi manusia yang lebih baik. Jadi, marilah kita belajar menerima apa yang sudah terjadi. Lagipula, kita takkan hidup dalam kurun waktu yang sama setiap harinya, karena selalu ada hari esok yang lebih menantang lagi daripada hari ini.
2. Kenali Reaksi Emosi yang Muncul Saat Mengingat Masa Lalu
Seperti kata Tony Robbins, mengidentifikasi reaksi emosi yang muncul karena kejadian buruk di masa lalu adalah cara yang efektif untuk mengurangi rasa bersalah atau tidak nyaman yang muncul karena kejadian di masa lalu. Hal ini dikarenakan emosi kita seperti otot yang akan ‘mengendur’ jika tidak dilatih.
Sewaktu-waktu, emosi yang ‘kendur’ akan kehilangan kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang ada. Maka dari itu, tak heran jika kita mudah ke-trigger saat mengalami kejadian yang serupa dengan masa lalu kita. Padahal, kejadian itu belum tentu akan berakhir sama seperti sebelumnya, kan?
3. Berhenti Meruminasi
Hayoloh, siapa di sini yang masih suka meruminasi? Jika kamu salah satunya, please hentikan mulai dari sekarang! Ruminasi adalah sebutan bagi kecenderungan untuk overthinking terhadap sesuatu yang sudah pernah kita lakukan, sehingga menghasilkan persepsi negatif terhadap hal tersebut. Oiya, tolong bedakan ruminasi dengan refleksi diri, ya.
Refleksi diri itu bagus untuk dilakukan, karena keutamaan refleksi adalah menemukan makna di balik kejadian negatif. Namun, ruminasi justru akan memperburuk mindset-mu mengenai dirimu sendiri, karena kamu akan terjebak dalam kesalahan yang sudah kamu perbuat. Maka dari itu, tak heran jika penderita post-traumatic stress disorder (PTSD) harus disembuhkan dari ruminasi yang dialaminya agar ia kembali menghargai hal-hal di masa kini, melepaskan beban masa lalunya, dan menghadapi masa depan dengan outlook yang positif.
4. Buatlah Rencana Perkembangan Diri
Tidak ada yang lebih menyenangkan untuk menghadapi masa lalu selain fokus dengan apa yang akan kita hadapi di masa depan. Seperti yang dikatakan psikolog Gordon Allport dalam buku Psikologi Pertumbuhan, manusia tidak selalu didorong oleh kekuatan di masa lalu, namun juga didorong oleh intensi dan rencana kita di masa depan. Inilah pertanda bahwa kita memiliki kepribadian sehat.
Maka dari itu, Allport menyarankan kita untuk membuat roadmap atau peta perjalanan kita menuju ke arah yang lebih baik. Memang, kita tidak akan semudah itu berubah 180 derajat dari pribadi kita yang sebelumnya. Namun setidaknya, dengan rencana perkembangan diri yang matang, kita jadi lebih mudah menavigasi tantangan di masa depan yang akan kita hadapi.
5. Habiskan Waktu dengan Orang-orang yang Mendukungmu Saat Ini
Seringkali, bila kita memandang masa lalu, pasti ada peran orang-orang tertentu, baik sikap maupun perilakunya, yang pastinya mengubah sikap dan perilaku kita. Maka dari itu, jangan hanya fokus pada perbuatan mereka, namun fokuslah pada perbuatan orang-orang di sekitar kita saat ini yang sudah membantu kita. Kita tak bisa mengubah apa pun persepsi orang di masa lalu terhadap kita, namun setidaknya kita sudah melakukan hal yang terbaik.
Lagipula, sudah ada riset yang membuktikan bahwa jika kita fokus pada apa yang kita hadapi di masa kini–termasuk dengan orang-orang yang mendukung kita saat ini–bisa meningkatkan kepuasan akan hidup. Ingat, Guys, kita selalu bertambah tua. Mumpung kita masih diberi kesempatan hidup, mari kita jalani hidup ini dengan sebaik-baiknya!
6. Memaafkan Diri Sendiri
Nah, untuk langkah yang satu ini, mungkin butuh persiapan yang ekstra sebelum kamu melakukannya. Namun, memaafkan kesalahan sendiri atas kesalahan yang pernah kita lakukan di masa lalu merupakan langkah bagus untuk perkembangan pribadi kamu. Memaafkan diri sendiri adalah cara kita bertanggung jawab atas perbuatan kita, namun tidak terus menerus membiarkan diri kita menanggung beban atas kesalahan tersebut sehingga melakukan self blaming setiap waktu.
Memaafkan diri juga bisa menjadi bentuk terapi, lho! Menurut Jacinto dan Edwards (2011), ketika kita memaafkan diri sendiri, kita telah menanamkan sebuah perspektif baru terhadap kejadian yang pernah kita alami, melatih diri sendiri untuk menerima keadaan saat ini, dan tidak berusaha mengendalikan hal-hal yang berada di luar kontrol kita.
Referensi:
- Felsman, P., Verduyn, P., Ayduk, O., & Kross, E. (2017). Being present: Focusing on the present predicts improvements in life satisfaction but not happiness. Emotion, 17(7), 1047–1051. https://doi.org/10.1037/emo0000333
- Frankl, V. (2017). Man’s Search for Meaning. Jakarta: Noura Publishing.
- Jacinto, G., & Edwards, B. (2011). Therapeutic Stages of Forgiveness and Self-Forgiveness. Journal of Human Behavior in the Social Environment, 21, 423–437. doi:10.1080/15433714.2011.531215.
- Schultz, D., & Schultz, D. (1991). Psikologi Pertumbuhan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.