Pernah, enggak, sih, bertanya-tanya apakah seseorang yang pandai bermatematika itu sebenarnya sejak lahir sudah ditakdirkan demikian tanpa perlu susah-susah belajar? Di sisi lain, ada pula keyakinan masyarakat luas yang mungkin kamu sendiri pernah dengar, seperti, “Meski tidak berbakat hitung-menghitung, bersungguh-sungguhlah dalam belajar matematika karena usaha tak akan mengkhianati hasil!” Perdebatan tentang mana di antara mana dari aspek perilaku manusia yang pantas dilabeli “bawaan” maupun “hasil berusaha” tampaknya belum dapat berakhir, setidaknya sampai hari ini.
Namun, seperti apa, ya, ilmu psikologi memandang masalah nature dan nurture atau “turunan alami” dan “pengaruh lingkungan” ini? Apakah para ilmuwan psikologi sepakat bahwa perilaku manusia dilatarbelakangi seratus persen oleh komponen internalnya seperti gen ataukah perilaku manusia itu tak lebih dari hasil belajarnya serta efek lingkungan eksternalnya? Atau mungkin saja mereka mengambil posisi tengah (kontribusi nature dan nurture sama imbangnya)?
Definisi Nature versus Nurture dalam Psikologi
Nature
Penjelasan terkait nature perlulah diberikan sebelum membahas lebih lanjut tentang nature versus nurture itu sendiri. Nature dalam perdebatan ini tidak memiliki arti harfiahnya seperti yang tercantum dalam Oxford Dictionary, “all the plants, animals and things that exist in the universe that are not made by people,” atau, “semua tumbuhan, hewan, dan hal-hal bukan buatan manusia yang terdapat di alam semesta.” Akan tetapi, nature merujuk pada gen dan faktor keturunan yang memengaruhi kita sebagai individu—baik itu penampilan fisik maupun karakter kepribadian (Cherry, 2020).
Nurture
Serupa dengan penjelasan sebelumnya, nurture pun harus dipahami secara kontekstual. Nurture diartikan secara spesifik sebagai variabel eksternal yang memengaruhi kehidupan individu, seperti pengalaman masa kecil, pola pengasuhan orang tua, hubungan sosial, proses belajar, dan budaya (Cherry, 2020; McLeod, 2018).
Perkembangan Nature versus Nurture
Nurture Sebagai Arus Utama
Lebih dari belasan tahun yang lalu, Pinker (2004) menjabarkan sejarah panjang perdebatan antara nature dan nurture sekaligus meresponsnya dengan berbagai pandangan. Menurutnya, pada abad ke-20, posisi umum yang kerap diambil dalam perdebatan nature-nurture ialah penolakan atas keberadaan pengaruh nature hingga meyakini bahwa variabel biologis tidaklah nyata sama sekali.
José Ortega y Gasset menyatakannya secara singkat, “Manusia tak dibentuk oleh sisi alamiahnya, melainkan hanya sejarahnya.” Manusia dianggap memiliki akal yang cirinya mirip “kertas kosong” atau dengan kata lain tidak terdapat informasi apa pun dalam pikiran manusia sebelum ia dilahirkan dan hanya akan terisi sesuatu apabila ia belajar juga berpengalaman. Pemikiran tersebut menarik bagi sebagian orang karena beberapa hal: (1) kenyataan bahwa kesenjangan antar kelas ekonomi maupun antar etnis, misalnya dalam hal kecerdasan, sangat mungkin dijembatani lewat perubahan budaya, imigrasi, dan mobilitas sosial, (2) keyakinan bahwa sifat buruk manusia seperti serakah dan agresif tidaklah inheren sehingga mengubahnya dapat membawa masyarakat menuju kondisi sosial yang lebih baik (Pinker, 2004).
Penemuan Yang Mendukung Keberadaan Nature
Sementara itu, pandangan yang mencoba mematahkan keyakinan bahwa nature tidak hadir sama sekali dalam kehidupan manusia mulai bermunculan. Meski tak seorang pun dapat menolak pentingnya proses belajar dan efek budaya terhadap perilaku manusia, cognitive science (cabang ilmu yang mempelajari seluk-beluk aspek kognitif) membuktikan bahwa terdapat mekanisme kompleks yang sifatnya internal (ada dalam diri seseorang secara alami) di balik kemampuan belajar manusia sehingga dapat menciptakan budaya (Pinker, 2004).
Cabang ilmu lain pun berturut-turut menemukan bukti yang mendukung keberadaan faktor genetik di balik perilaku manusia. Behavioral genetics menunjukkan bahwa temperamen muncul ketika seseorang berusia dini dan kualitasnya tetap sama sepanjang hidupnya. Neuroscience membuktikan bahwa genom manusia memfasilitasi banyak faktor perkembangan yang membantu proses pembentukan struktur otak di masa perkembangannya, termasuk sifat otak yang plastis sehingga memungkinkan manusia untuk belajar (Pinker, 2004).
Penemuan-penemuan itu sangatlah penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Selain memberikan gambaran bahwa variabel biologis (nature) benar-benar ada dan tak bisa disepelekan kontribusinya dalam perilaku manusia, penemuan tadi menyadarkan beberapa pihak bahwa pandangan mereka terkait konsep nature-nurture tidaklah tepat serta butuh perbaikan.
Dapatkah Nature – Nurture Memengaruhi Perilaku secara Bersamaan?
Pinker (2004) menjelaskan lebih lanjut, di samping mereka yang percaya bahwa nature atau nurture-lah yang berkontribusi penuh terhadap perilaku manusia, ada posisi lain yang disebut sebagai interaksionis. Posisi tersebut berpendapat bahwa nature dan nurture bukanlah sesuatu yang ekskulsif satu sama lain di mana tidak mungkin apabila keduanya berkontribusi secara bersamaan. Interaksionis percaya bahwa perilaku seseorang dapat disebabkan oleh hubungan antara pengaruh gen dan lingkungannya.
Sebagai contoh, kemampuan seseorang untuk memutuskan sesuatu secara rasional ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lingkungannya. Gen manusia memberi kesempatan seseorang untuk dapat belajar dengan adanya kapasitas mental yang disediakan otak. Akan tetapi, adanya otak saja tak cukup membuat manusia mampu membuat keputusan sebab informasi dan stimulus eksternal dari luar harus terkumpul terlebih dahulu.
Sejauh ini, interaksionis adalah posisi mapan yang diambil para ilmuwan (Pinker, 2004). Pandangan ini memberikan keleluasaan bagi aspek nature dan nurture untuk berjalan beriringan. Posisi ekstrim yang condong penuh pada nature maupun nurture dianggap mempersempit kemungkinan yang terdapat di lapangan dan itu perlulah dihindari sebab tak sesuai dengan semangat keilmuan.
Manakah Posisi yang Tepat dalam Perdebatan Ini?
Namun, apakah posisi interaksionis itu sudah benar? Meski Pinker (2004) berpikir interaksionis memiliki fleksibilitas di mana sebuah perilaku dianggap memiliki sebagian pengaruh nature, sebagian lagi pengaruh nurture, terkadang ada kasus yang menuntut orang untuk mengakui bahwa perilaku tertentu memang dilatarbelakangi seratus persen oleh nature atau nurture.
Seorang anak yang terlahir di Jepang, misalnya, mampu berbahasa Jepang lebih cepat daripada orang Inggris dewasa yang baru saja mempelajari bahasa Jepang merupakan perilaku yang disebabkan oleh faktor nurture sepenuhnya. Anak Jepang tadi bukannya memiliki kecenderungan bawaan untuk lebih mudah mempelajari bahasa Jepang daripada bahasa Inggris hanya karena orang tuanya berdarah Jepang, tetapi sejak kecil ia memang berada di lingkungan yang mendukungnya untuk berbahasa Jepang lebih dari bahasa-bahasa lainnya. Lewat contoh ini dapat diketahui bahwa kasus perilaku yang dipengaruhi nurture sepenuhnya tetaplah ada meski posisi interaksionis lah yang populer di kalangan ilmuwan.
Dengan demikian, terjawablah pertanyaan di awal terkait kemampuan bermatematika sebagai bakat maupun usaha seseorang yang akan terbayar kesuksesan apabila bersungguh-sungguh dalam belajar: mungkin saja faktor nature dan nurture sama-sama memengaruhinya atau hanya salah satunya. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi ialah meskipun seseorang terlahir dengan kapabilitas alamiah (bakat) yang hebat, apabila ia tak mendapatkan stimulus eksternal yang tepat, maka potensinya tidak akan termaksimalkan sebab interaksi yang ideal antara nature dan nurture tak terjadi.
Referensi
- Cherry, K. (2020). The Age Old Debate of Nature vs. Nurture. https://www.verywellmind.com/what-is-nature-versus-nurture-2795392#toc-examples
- McLeod, S. A. (2018, December 20). Nature vs nurture in psychology. www.simplypsychology.org/naturevsnurture.html
- Pinker, S. (2004). Why Nature & Nurture Won’t Go Away. Daedalus, 133(4), 5–17. http://www.jstor.org/stable/20027940