Semua istilah-istilah filosofi dengan akhiran -isme kadang kali merupakan sebuah cara untuk hidup atau memandang kehidupan. Berbagai aliran filosofi hadir untuk menjadi fondasi dalam menjalani kehidupan, baik itu; optimisme, stoisisme, pesimisme, dan topik hari yaitu Nihilisme. Sudut pandang Nihilisme semakin populer seiring berkembangnya jaman. Mari kita belajar sedikit mengenai Nihilisme.
Maksud dari Nihilisme
Dalam Nihilisme, semua tidak memiliki arti. Diterjemahkan langsung dari kata “Nihil” yaitu “nothing” dan “-ism” yang berarti ideologi. Pernahkah kamu mendengarkan analogi cangkir yang berisi air? Bila kamu menjawab “gelasnya setengah terisi” berarti kamu seorang optimis, sedangkan bila kamu mengatakan “gelasnya setengah kosong” berati kamu seorang pesimis. Nah, pada kasus yang sama seorang Nihilist akan menanyakan “kenapa?” dan menanyakan apa fungsi tes tersebut atau secara langsung mengatakan bahwa analogi tersebut tidak berarti.
Why? Kenapa? Terus habis itu apa? Setelahnya apa? Seseorang yang menganut nihilisme akan secara konstan mempertanyakan arti sesungguhnya pada suatu barang, kegiatan, bahkan hidup itu sendiri. Guru SMAku juga menjelaskan Nihilisme dengan bertanya langsung kepada kelasku:
- Guru: Kenapa kamu belajar?
- Murid: Biar bisa bekerja pak
- Guru: Kenapa kamu bekerja?
- Murid: Biar dapat uang pak
- Guru: Terus setelah uang mau dipakai buat apa?
Guruku terus menghujani dengan pertanyaan sampai pada titik kita tidak bisa menjawab. Dia terus bertanya hingga kami “diarahkan” ke jawaban “tidak ada”.
Singkat kata, menjadi seorang “nihilist” berarti menjadi seseorang yang tidak melihat arti maupun nilai-nilai yang ada dibalik sebuah tindakan, objek, atau apapun itu. Kebaikan dan kejahatan tidak memiliki nilai yang signifikan, semuanya tidak berarti sedikitpun.
Menurut Meliana (2014) tujuan Nihilismus (Nihilisme) adalah untuk memutuskan dan mengakhiri keputusan terhadap kebenaran pemikiran absolut dan subyektif. Nihilisme muncul untuk menunjukkan bahwa nilai atau aturan moral yang dianggap bernilai dan bermakna, kini sudah memudar dan menjadi kosong/nihil.
Inti renungan nihilisme pada intinya adlah renungan tentang krisis di Eropa akhir abad lalu, gerak kebudayaan di Eropa mengarahkannya kedalam kekacauan (Meliana, 2014). Kacau karena orang-orang yang takut untuk berpikir.
Nihilisme mengajak manusia ke kondisi yang hampa dan kosong untuk meruntuhkan dan mengkritisi kembali tatanan nilai maupun jaminan kepastian (seperti Tuhan) yang sebelumnya dianggap absolut. Proses meruntuhkan dan membangun kembali nilai-nilai inilah yang menuntun kepada ucapan “Der Gott ist Tot” atau “Tuhan sudah mati”.
Namun, semakin ke arah ini semakin terdengar seperti Pesimisme bukan? Apa yang membedakan Nihilisme dengan pesisme, sinisme, maupun apatis? Simak lebih lanjut ya.
Perbedaan Nihilisme, Pesimisme, Sinisme, dan Apatis
Memang nihilisme berawal dari pesmisme, tetapi di abad kontemporer pesismisme ini berubah dan pada titik klimaksnya menjadi nihilisme (Meliana, 2014). Seorang yang menganut pesimisme mempercayai hasil akhir yang terburuk.
Mereka cenderung berfokus kepada negatif hidup, karena mereka percaya bahwa pada akhirnya kejahatan akan selalu mengalahkan kebaikan dalam hidup. Para pesimis tahu dan percaya jika ada kebaikan atau sisi positif, mereka hanya tidak percaya jika umat manusia bisa tetap melakukannya hingga akhir hayat.
Pada sisi lain, seorang Nilihist tidak mempercayai apapun. Mereka tidak percaya akan konsep kebaikan dan kejahatan di dunia ini. Di dalam pikiran Seorang Nihilist, mereka hanya memercayai jika umat manusia menciptakan moralitas. Alhasil, karena moralitas tersebut lahirlah konsep baik dan jahat. Para Nihilist tidak mempertimbangkan penting tidaknya kebaikan dan kejatahan, semuanya tidak berarti.
Orang-orang yang sinis selalu termotivasi karena keuntungan pribadi mereka. Mereka tidak mempercayai bahwa siapapun mampu untuk memiliki motif yang secara intrinsif positif, selalu ada maksud lain dibalik tindakannya.
Penganut Sinisme tidak memiliki harapan besar pada umat manusia, mereka memercayai semua manusia egois dan bertindak untuk keuntungan mereka sendiri. Kemudian bagaimana tentang orang-orang yang apatis? Well, secara singkat orang yang apatis tidak peduli.
Kalau dibuat tabel maka akan terlihat seperti ini:
Nihilisme | Pesimisme | Sinisme | Apatis | |
Cara berpikir | Konsep kebaikan dan kejatahatan salah, membuatnya tidak berarti. | Fokus pada akhir yang terburuk. Tidak yakin bila kondisi yang terbaik bisa dicapai. | Semua manusia egois dan memiliki maksud tersembunyi. Padahal harapan terhadap manusia besar. | Tidak peduli terhadap apapun. |
Nihilisme memang merupakan sebuah filosofi yang baru, sedikit berbeda dengan ide filosofis yang lain. Nihilisme diciptakan dari literasi, bahkan sebelum menjadi ide filosofis itu sendiri. Nihilisme juga seringkali salah dimengerti, dikira sebagai sebuah senjata politik yang bisa menjatuhkan negara dan budaya yang sudah lama berjalan. Nihilisme juga dapat dibagi-bagi menjadi political nihilism, ethical nihilism, dan existential nihilism.
- Political nihilism
Kepercayaan bahwa, agar umat manusia bisa terus maju
sebagai spesies, segala kesatuan politikal, sosial, dan religius harus dihancurkan.
- Ethical nihilism
Menolak ide akan nilai moral maupun etis yang absolut. Nihilisme ini akan menciptakan masyarakat yang bisa menentukan baik dan buruk berdasarkan nilai mereka sendiri.
- Existential nihilism
Pemahaman bahwa Kehidupan tidak memiliki arti maupun nilai apapun. Nihilisme jenis inilah yang paling populer dan seringkali muncul pada pikiran seseorang saat membicarakan nihilisme (Pratt, n.d.).
Oh iya, Existential Nihilsm inilah yang menjadi topik pembicaraan di mayoritas jurnal yang aku temukan mengenai Nihilisme. Alasannya (menurutku) karena konsepnya yang mengerikan, “ketika kehidupan tidak memiliki arti, lantas apa alasan untuk hidup?” Bagaimana cara menjawabnya? Hidup didasari oleh tujuan dan tanpa tujuan semua akan menjadi hampa bukan?
Mengutip buku The Stranger (1942), ketika Meuersault menolak pengandaian eksistensial yang diandalkan oleh mereka yang lemah dan simplistik. Pada saat-saat terakhir kehidupannya, dia menemukan jika “Kehidupan sendiri adalah alasan yang cukup untuk tetap hidup.” Nihilisme bukan sebatas semua kosong tidak berarti, Nihilisme justru mendorong manusia untuk memikirkan ulang konsep baik dan benar, hal-hal yang absolut, untuk masa depan yang lebih benar.
So Now What?
Pada titik ini, filosofi nihilisme seharusnya sudah terdengar sangat… kosong. Untuk apa kita menghidupi kehidupan yang tidak berarti? Untuk apa melakukan tindakan apapun apabila konsep baik dan buruk merupakan konstruk buatan manusia yang tidak sempurna maupun absolut. Saya merasakan hal yang sama saat membaca-baca filosofi yang ini.
Namun, ada kok dunia yang muncul setelah Nihilisme. Nietzsche sendiri mempercayai jika kita (sebagai umat manusia) dapat “melewati” Nihilisme. Jika saja kita bisa melewati proses penghancuran segala interpretasi dari dunia, kita mungkin saja bisa menemukan jalur yang tepat bagi umat Manusia.
Apa pendapatmu tentang filosofi ini? Punya hot takes yang sudah lama kamu pendam tentang topik ini? Ceritakan di kolom komentar ya!
References
Aperture Science. (2021, May 14). Nihilism: The Belief in Nothing. Retrieved October 31, 2021, from Aperture website: https://aperture.gg/blogs/the-universe/nihilism-the-belief-in-nothing
Meliana, N. (2014). PEMIKIRAN-PEMIKIRAN FILOSOFIS W. F. NIETZSCHE DALAM ROMAN ALSO SPRACH ZARATHUSTRA: SEBUAH KAJIAN FILSAFAT POSTMODERN (Undergraduate Thesis; pp. 91–96). Retrieved from https://eprints.uny.ac.id/21530/
Pratt, A. (n.d.). Nihilism | Internet Encyclopedia of Philosophy. Retrieved November 1, 2021, from Internet Encyclopedia of Philosophy website: https://iep.utm.edu/nihilism/#H3