Belakangan ini, kasus COVID-19 di Indonesia masih menjadi berita utama. Ketika kita membicarakan soal COVID-19, tak jarang kita mengasosiasikannya dengan perubahan gaya hidup yang harus kita jalani. Maka dari itu, bagi teman-teman yang sedang WFH alias bekerja dari rumah saat ini, pasti ada suka dukanya.
Menjadi seorang karyawan di masa pandemi bukanlah perkara mudah. Kita tidak hanya harus bisa membagi waktu antara produktivitas dengan waktu luang, mempertahankan work life balance, tetapi juga harus bisa memastikan produktivitas kita tetap konsisten. Maka dari itu, sebagai pejuang di kala pandemi, penting bagi kita memiliki agility. Tapi sebelumnya, apa sebenarnya agility itu?
Definisi Agility
Menurut Plonka (1997), agility adalah sebuah keadaan di mana individu terbuka pada mencari pengetahuan dan pengembangan diri, memiliki kemampuan pemecahan masalah, nyaman terhadap pengalaman, teknologi, dan ide-ide baru, serta selalu siap menerima tanggung jawab baru.
Pendek kata, orang yang agile akan lebih fleksibel dalam menghadapi keadaan yang tidak menentu dan tidak takut dengan perubahan, sebuah karakter yang diperlukan dalam pandemi COVID-19 ini. Terutama karena kita tidak tahu apa yang akan kita jalani di masa depan.
Faktor-Faktor Pendorong Agility
Nah, kita sudah tahu bahwa untuk bisa agile kita harus proaktif, adaptif, dan resilien. Tapi, bagaimana caranya menjaga agility dalam diri kita? Ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi agility dalam diri seseorang. Khususnya, apabila kita berbicara soal agility bagi teman-teman yang sudah bekerja.
Faktor Internal
Menurut Vliet, et. al. (2019), faktor internal yang mempengaruhi agility antara lain kepribadian, pengalaman, dan kemampuan diri. Namun, perlu diketahui bahwa tingkatan agility tiap orang berbeda-beda, karena setiap orang punya inteligensi, kecepatan penguasaan skill dan kompetensi, serta efektivitas kerjasama dengan orang lain yang berbeda (Breu, Hemingway, Strathern, & Bridger, 2002).
Faktor Eksternal
Selain faktor internal, faktor-faktor eksternal yang dapat meningkatkan agility bisa dihasilkan dari peran aspek-aspek lingkungan dan sosial. Untuk kasus karyawan, agility bisa ditingkatkan melalui empowerment atau pemberian motivasi, serta teamwork yang baik (Munteanu, et. al., 2020).
Hal ini juga disampaikan oleh Muduli (2016), bahwa agility pada setiap individu tidak muncul secara alamiah, melainkan merupakan sebuah proses yang didukung dari banyak hal, contohnya dalam situasi perusahaan, agility bisa didukung melalui manajemen sistem imbalan, sistem informasi, training, dan peran pihak-pihak yang berkepentingan.
Katakanlah, dari kedua faktor tersebut, kita sudah tahu bahwa agility bisa didorong dari dalam dan luar individu, namun tetap saja kita tidak bisa mengandalkan dorongan bila sikap kita tak menunjukkan agility.
Cara Menjadi Individu yang Agile
Seperti yang sudah kita tahu bersama, keadaan Normal Baru ini mau tak mau mengharuskan kita merubah gaya hidup. Menurut Sherehiy dan Karwowski (2014), ada tiga dimensi perilaku yang harus kita kembangkan apabila kita ingin menjadi individu yang agile, antara lain:
1. Bersikap proaktif
Menjadi proaktif berarti mandiri, punya keinginan untuk belajar, serta memiliki inisiatif untuk merespon lingkungan dengan aktif, yakni dengan melakukan sesuatu yang berdampak positif pada lingkungan (Griffin & Hesketh, 2006). Menjadi seorang yang proaktif juga berarti menguasai kemampuan problem solving.
Artinya, mereka bisa mempertimbangkan berbagai pilihan dan strategi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah terkait pekerjaannya, mencari solusi yang kreatif ketika terjadi masalah, mampu melihat peluang dan memanfaatkan kesempatan, serta mampu menjaga ketenangan diri apabila berada dalam keadaan stres (Sherehiy & Karwowski, 2014).
2. Mampu beradaptasi
Adaptasi adalah kemampuan menyesuaikan diri dalam situasi apa pun, termasuk di kala situasi yang dialami tidak sesuai harapan. Jadi, konteks adaptasi tidak hanya sebatas di ranah pekerjaan, tetapi juga kehidupan sehari-hari, sebut saja pindah rumah, baru taken alias menikah, atau ketika kita harus kehilangan orang-orang yang kita sayangi.
Selain itu, orang yang bisa beradaptasi juga diharapkan bisa menyelesaikan masalah dengan cara memodifikasi atribut lingkungan yang kurang menentu agar kembali stabil (Rzepka, Andrzej, & Olak, 2018), mampu bekerjasama yang baik, menerapkan strategi coping terhadap perubahan, dan decisiveness/kemampuan beradaptasi dengan cara menemukan kesempatan baru dalam perubahan (Vliet, et. al., 2019).
Selain itu, individu yang adaptable juga diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan kelompok baru dan budaya baru, serta nilai-nilai yang berbeda dengan nilai-nilai pribadi yang dianut (Sherehiy & Karwowski, 2014).
3. Memiliki resiliensi tinggi
Menurut ahli, resiliensi merupakan ketangguhan diri, yang ditandai oleh pendekatan terbuka terhadap perubahan, ide atau teknologi baru, kemampuan menghadapi situasi yang tak terduga, serta kemampuan coping stres yang efektif saat menghadapi masalah (Dyer & Shafer, 2003; Sherehiy & Karwowski, 2014; Sherehiy et al., 2007).
Jadi gampangnya, setiap orang yang resilien adalah orang-orang yang ‘tahan banting.’ Mereka tidak mudah menyerah ketika keadaan membuat mereka terpuruk atau jatuh. Mereka juga akan mencari cara memotivasi diri mereka untuk bangkit kembali.
Jadi, sudah seberapa agile dirimu selama ini? Seperti apa pun keadaanmu, yang penting adalah jangan merasa bahwa kamu merasa terbebani dengan tuntutan dunia luar untuk berubah. Menjadi agile juga berarti membiarkan dirimu untuk bertumbuh dan menggali potensi agar kamu bisa menjadi versi dirimu yang lebih baik.
References:
- Breu, K., Hemingway, C. J., Strathern, M., & Bridger, D. (2002). Workforce agility: The new employee strategy for the knowledge economy. Journal of Information Technology, 17(1), 21–31. https://doi.org/10.1080/02683960110132070
- Dyer, L., & Shafer, R. A. (2003). Dynamic Organizations: Achieving Marketplace And Dynamic Organizations: Achieving Marketplace And Organizational Agility With People Organi. Retrieved from https://digitalcommons.ilr.cornell.edu/cahrswp
- Griffin, B., & Hesketh, B. (2006). Adaptable Behaviours for Successful Work and Career Adjustment. Australian Journal of Psychology, 55(2), 65–73. doi:10.1080/00049530412331312914
- Muduli, A. (2016). Exploring the facilitators and mediators of workforce agility: an empirical study. Management Research Review, 39(12), 1567–1586. https://doi.org/10.1108/MRR-10-2015-0236
- Munteanu, A. I., Bibu, N., Nastase, M., Cristache, N., & Matis, C. (2020). Analysis of practices to increase the workforce agility and to develop a sustainable and competitive business. Sustainability (Switzerland), 12(9). https://doi.org/10.3390/SU12093545
- Plonka, F. E. (1997). Developing a lean and agile work force. Human Factors and Ergonomics In Manufacturing, 7(1), 11–20. https://doi.org/10.1002/(SICI)1520-6564(199724)7:1<11::AID-HFM2>3.0.CO;2-J
- Rzepka, A., Andrzej, & Olak, J. (2018). Networking , Adaptability And Resilience As Some Of Agility Dimensions. Journal of Business and Management, 19(November 2017), 76–81. https://doi.org/10.9790/487X-1907037681
- Sherehiy, B., Karwowski, W., & Layer, J. K. (2007). A review of enterprise agility: Concepts, frameworks, and attributes. International Journal of Industrial Ergonomics, 37(5), 445–460. https://doi.org/10.1016/j.ergon.2007.01.007
- Sherehiy, B., & Karwowski, W. (2014). The relationship between work organization and workforce agility in small manufacturing enterprises. International Journal of Industrial Ergonomics, 44(3), 466–473. https://doi.org/10.1016/j.ergon.2014.01.002
- Vliet, S., Born, M., & Molen, Ht. (2019). Using a portfolio-based process to develop agility among employees. Human Resource Development Quarterly. 30. 10.1002/hrdq.21337