Mumpung Liga Premier dan La Liga sedang trending, mari kita ngomong soal psikologi olahraga! Hari ini pembahasan kita akan lebih kepada dasar-dasar teori psikologi olahraga, tapi artikel ini juga akan menyertakan sejumlah contoh yang saya dapakan dari kisah-kisah inspiratif dari dunia sepakbola. So, let’s get started, shall we?
Pengertian Psikologi Olahraga dan Macam-Macam Fokusnya
Menurut American Psychological Association (APA), psikologi olahraga adalah suatu cabang psikologi yang berfokus pada penggunaan pengetahuan dan keterampilan psikologis untuk menangani kinerja dan kesejahteraan atlet yang optimal, aspek perkembangan dan sosial dari partisipasi olahraga, dan masalah sistemik yang terkait dengan pengaturan dan organisasi olahraga. Psikologi olahraga selalu membahas tentang bagaimana memaksimalkan potensi atlet maupun tim dalam sebuah cabang olahraga dengan memperhatikan kesejahteraan mentalnya.
Ada tiga fokus psikologi olahraga yang dapat dibedakan menjadi individu, kelompok, dan organisasi.
Fokus Individu
Fokus yang pertama adalah individu, yang meliputi keadaan psikologis atlet dan motivasinya secara individu.
Motivasi
Yang pertama, fokus psikologi olahraga pada individu adalah menaikkan motivasi atlet, baik intrinsik maupun ekstrinsiknya. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang. Misalnya, sejak kecil, Sir Alex Ferguson memiliki passion yang besar pada sepakbola. Ia bahkan sempat berprestasi dalam tim lokal di kampung halamannya, Aberdeen FC, sewaktu muda. Kesenangan bermain sepakbola itulah yang disebut motivasi intrinsik pada kisah Sir Alex. Sementara itu, motivasi ekstrinsik berasal dari luar diri. Namun, bukan berarti motivasi ekstrinsik tidak sekuat motivasi intrinsik.
Yang kedua adalah motivasi ekstrinsik, yang biasanya dihidupkan dengan adanya reward. Kembali lagi pada cerita Sir Alex Ferguson. Ketika telah menjadi manajer Manchester United, Sir Alex tidak lagi hanya mengandalkan passion-nya. Ia harus memperhitungkan untung ruginya saat ia memanajemen tim sepakbola, berhati-hati agar tim tidak mengalami kegagalan. Tak jarang sebagai manajer, ia juga membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya, terutama istrinya, Cathy Ferguson. Beberapa kali dalam autobiografinya, ia juga menyebutkan pemain-pemain MU yang membantunya dalam mengelola tim setelah mereka pensiun, sebut saja Ryan Giggs, Paul Scholes, Nicky Butt, dan Gary Neville.
Keadaan psikologis atlet
Ketika sudah ada motivasi, bagaimana bila pemain masih tidak bisa perform? Langkah selanjutnya adalah menyelam ke dalam diri si pemain. Kita tahu banyak pemain sepakbola yang temperamental. Eric Cantona, Mario Ballotelli, dan Luis Suarez hanyalah tiga di antara banyak pemain sepakbola yang terkenal memiliki emosi yang meledak-ledak.
Masalah psikologis yang patut menjadi perhatian dalam tim tidak hanya masalah temperamen pemain, tetapi juga sikap dan gestur pemain dalam menghadapi situasi tertentu. Maka dari itu, penelitian psikologi Beaumont, dkk. (2015) menyatakan bahwa akan lebih baik bila setiap pemain memiliki treatment yang berbeda-beda. Selain itu, dalam menghadapi kekalahan, pemain akan cenderung mengalami ruminasi atau berpikir terus menerus mengenai kegagalan mereka. Ruminasi bisa dikurangi dengan membantu pemain mengendalikan pikiran negatif berlebihan mereka dengan mengajak mereka berkomunikasi secara individual.
Fokus Kelompok
Fokus kedua psikologi olahraga adalah seputar kelompok, yang membahas tentang dinamika kelompok dan pengelolaan konflik.
Dinamika kelompok
Pada olahraga yang mengandalkan kerjasama tim, misalnya dalam basket atau sepakbola terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi tim. Di antara faktor-faktor ini, kohesi merupakan salah satu konstruksi psikologis yang paling banyak dipelajari. Kohesi adalah sebuah perekat yang bertindak untuk menarik dan mempertahankan anggota dalam kelompok. Suatu tim akan semakin kohesif saat bisa perform dengan baik, namun di sisi lain, performansi tim juga bergantung pada kohesivitas kelompok. Kohesivitas kelompok juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, seperti jenis peran yang dilakukan oleh anggota tim, norma dan tujuan kelompok yang ditetapkan anggota, perilaku mereka yang berada di posisi kepemimpinan, serta persepsi anggota tentang tim mereka.
Isu lain dalam dinamika kelompok adalah konflik peran atlet dalam kelompok. Contohnya adalah masalah pemain yang dicadangkan. Apabila kalian pernah bermain dalam sepakbola, kalian pasti tahu rasanya menjadi pemain yang dicadangkan. Ada perasaan aneh yang membuat kalian bingung, bertanya-tanya kapan kalian dimainkan, padahal kalian sudah berlatih dan bekerja keras. Inilah yang dinamakan konflik peran.
Ketika atlet mengalami konflik peran ini, mereka cenderung merasakan ambiguitas peran yang lebih besar, dan melaporkan berkurangnya kepercayaan diri terkait peran. Mengkonfirmasi hal in, penelitian Beauchamp, dkk. (2001) melaporkan bahwa pemain cadangan memiliki skor ambiguitas peran yang lebih tinggi daripada pemain utama karena pemain cadangan menikmati lebih sedikit peluang untuk menjalankan fungsi peran ofensif dan defensif mereka dalam konteks permainan tim yang kompetitif. Ketika hal ini terjadi dan tidak ditangani, maka tim akan mengalami konflik yang lebih besar, yang akan kita bahas di poin selanjutnya.
Pengelolaan konflik
Kembali lagi, tidak hanya sepakbola, namun pada setiap olahraga yang mengandalkan kerjasama tim, kunci kesuksesan performansi tim adalah kemampuan tim dalam meminimalisir konflik yang terjadi antar pemain. Konflik sering dianggap sebagai fenomena yang ‘membunuh energi’ dalam kelompok, apalagi bila kelompok tersebut berisi pemain profesional yang sama-sama menuntut haknya dalam kelompok. Menurut Németh (2018), proses pengelolaan konflik sebagian besar dipengaruhi oleh: keadaan situasi yang diberikan, karakter pemain, hubungan mereka satu sama lain, dan keadaan emosi sesaat pemain, dan gaya komunikasi. Menyambung poin leadership, peran figur otoritas seperti kapten tim, coach, dan manajersangat penting dalam memetakan situasi ini, dan mengajak pemain kembali pada tujuan sebuah tim dibentuk. (Baca juga Emosi dalam Psikologi)
Sir Alex Ferguson, contohnya, pernah mendiskors salah satu pemain MU karena membuat keributan dengan anggota tim lainnya. Dilansir dari autobiografinya, Eric Cantona adalah salah satu pemain yang pernah kena semprot Sir Alex karena bukannya menjadi kapten yang baik, ia malah memperkeruh konflik dalam tim. Tidak hanya Sir Alex, eks-manajer Chelsea, José Mourinho, juga tidak pandang bulu dalam menangani masalah dalam timnya, serta mengkomunikasikan kembali visi dan misinya sebagai individu kepada tim. Ada kutipan menarik Mourinho berdasarkan kata-kata mentornya, Sir Bobby Robson: “Ketika kamu menang, kamu tidak boleh berasumsi bahwa kamu adalah tim. Namun saat kalah, kamu tidak boleh berpikir kamu adalah sampah.” Jadi, saat konflik terjadi dalam suatu tim, kembali pada tujuan awal dan tidak terlalu berlarut-larut dalam kesalahan, sehingga hal itu akan mempengaruhi bagaimana tim meninjau ulang suatu keadaan yang kurang mengenakkan.
Goal setting
Menurut Locke dan Latham (2002), goal setting atau menetapkan tujuan dapat meningkatkan performa dalam kelompok melalui empat mekanisme. Pertama, mengarahkan upaya dan perhatian kepada aktivitas yang terkait dengan tujuan dan jauh dari aktivitas yang tidak relevan. Kedua, tujuan dapat memberi energi dalam melaksanakan suatu tugas, dengan upaya yang lebih tinggi diharapkan untuk tujuan yang lebih menantang daripada tujuan yang lebih mudah. Ketiga, tujuan mempengaruhi ketekunan dalam tugas yang relevan dengan pengejaran tujuan. Yang terakhir, tujuan dapat mempengaruhi tindakan melalui penerapan strategi dan pengetahuan yang relevan dengan tugas.
Maka dari itu, dalam proses menetapkan tujuan, baik atlet, pelatih, dan praktisi terapan harus menyadari berbagai faktor yang dapat berpengaruh saat menetapkan tujuan, untuk memastikan bahwa prosesnya seefektif mungkin. Salah satunya, menurut Healy, dkk. (2018), faktor kepribadian seperti ekstraversi dan narsisme tiap anggota tim dapat berdampak pada efektivitas program penetapan tujuan tim.
Contoh manajer yang bisa dijadikan teladan dalam hal penetapan tujuan adalah Pep Guardiola, eks-manajer Barcelona FC. Sebagai manajer, Guardiola melakukan riset yang mendalam terhadap nilai-nilai tiap pemain Barcelona, demi memaksimalkan kebijakan kolektif dan membuat tim berbagi dalam tujuan yang sama. Selain itu, Guardiola juga dikenal sebagai orang yang perfeksionis. Ia juga mempelajari saingannya dan memperhatikan detail untuk menyusun taktik. Sebagai manajer, tujuan yang ditetapkan Guardiola kepada Barcelona tidak hanya digunakan untuk mengembangkan tim, tetapi juga memberi support terhadap bakat-bakat yang dimiliki pemain Barcelona
Fokus Organisasi
Sekarang, kita akan membahas mengenai fokus organisasi pada psikologi olahraga. Kalian yang pernah menonton NBA, atau liga sepakbola, entah Liga Premier, La Liga, Copa del Rey, dan lain-lain, pasti familiar dengan istilah klub, bukan?
Bedanya klub dengan tim adalah cakupannya. Sebelumnya saya meminta maaf karena tidak ada definisi teoritis yang jelas mengenai klub. Maka dari itu saya akan mengutip Wikipedia, bahwa istilah klub mengacu kepada badan yang terorganisir atau berbadan hukum dengan presiden, komite dan seperangkat aturan yang bertanggung jawab untuk memastikan kelangsungan bermain satu atau lebih tim yang dipilih untuk permainan kompetisi reguler. Singkatnya, suatu tim adalah sekelompok individu yang memiliki tugas tertentu (yaitu bermain, tentu saja!), sementara klub adalah organisasi yang mengelola sebuah tim.
Nah, tentunya kasus-kasus organisasi pada psikologi olahraga tak lepas dari masalah leadership terutama yang berkaitan dengan klub.
Leadership
Dalam suatu organisasi, leadership sangat diandalkan untuk menggerakkan anggota mencapai tujuan. Misalnya, dalam klub sepakbola, leadership muncul dalam bentuk seorang kapten, pelatih, manajer, dan pemilik klub. Nah, apa perbedaannya di antara keempat sosok itu?
Katakanlah, seorang kapten tim adalah leader di lapangan. Ia bertanggung jawab mengelola dan mengorganisasi anggota tim untuk menjalankan tugas. Sebagai figur otoritas, ia harus bisa menjadi contoh teladan bagi anggota timnya. Selain itu, ia juga harus memiliki kesadaran terhadap isu-isu yang terjadi pada anggota timnya.
Kemudian, pelatih atau coach adalah orang yang bertugas membantu mengarahkan tim saat latihan maupun di dalam lapangan.Ia harus bisa mengarahkan pemain dan membangun strategi permainan yang efektif. Selain itu, menurut penelitian Acet, dkk. (2017), karakteristik utama seorang coach adalah bisa bersikap demokratis, menjadi social support, serta mampu memberikan umpan balik positif kepada tim. (Bayangkan saja, sehabis mengalami kekalahan, kamu dimarahi habis-habisan dan tidak diberi penghargaan atas kerja kerasmu dalam tim setelah itu. Hiks.)
Yang ketiga adalah manajer. Terkadang kita sukar membedakan tanggung jawab manajer dengan coach. Manajer memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari coach dalam urusan tim. Seorang manajer memiliki otonomi untuk memilih staf pendukung yang mereka butuhkan di tim mereka dan jenis pemain yang ingin mereka turunkan jika mereka anggap perlu. Manajer memang tidak ‘turun’ ke lapangan langsung layaknya coach, tetapi ia harus bisa melihat bagaimana situasi eksternal mempengaruhi performansi tim.
Yang terakhir adalah pemilik klub. Pemilik klub yang akan saya contohkan di sini adalah Shahid Khan, yang merupakan bos Fulham FC. Ia bertanggung jawab terhadap seluruh saham Fulham dan memiliki andil besar terhadap keputusan-keputusan yang terjadi pada klub.
Kesamaan keempat sosok ini tentu saja, mereka sama-sama berpengaruh terhadap keberlangsungan suatu klub. Kapten tim adalah perpanjangan tangan pelatih, sementara manajer bekerjasama dengan pelatih untuk mendapatkan informasi seputar kinerja tim, dan pemilik klub sejajar dengan dewan direksi.
Macam-macam leadership style atau gaya kepemimpinan dibagi menjadi tiga, yaitu autokratik, demokratik, dan laissez-faire.
- Autokratik adalah gaya kepemimpinan yang termotivasi dari keinginan menyelesaikan tugas dengan cepat, sehingga terkesan otoriter dan suka mengatur.
- Demokratik adalah gaya kepemimpinan yang ditandai dengan delegasi, tidak memihak, dan terbuka terhadap pendapat anggota mengenai suatu keputusan, karena berfokus pada kebaikan orang banyak.
- Laissez-faire adalah gaya kepemimpinan yang bersifat tidak mengikat dan jauh lebih bebas daripada demokratis. Keputusan yang diambil sangat bergantung pada dinamika kelompok, sehingga kesannya kepemimpinan laissez-faire memang sangat kurang direkomendasikan, apalagi ketika mengambil keputusan yang seharusnya sangat penting bagi keberlangsungan organisasi.
Studi kasus
Setiap kasus individu dalam cakupan psikologi olahraga, kelompok, dan organisasi dalam olahraga sangat beragam, namun mereka tidak bisa dipisahkan. Untuk contohnya, kali ini kita akan berbicara sebuah kasus dari klub Manchester United dari perspektif Sir Alex Ferguson, mantan manajer tim sepak bola Manchester United.
Analisis Kasus Individu
Yang pertama, kita akan meninjaunya dari fokus individu, yaitu pada kasus Louis Saha. Jika dilogika menurut bisnis sepakbola, apabila pemain dalam klub sudah tidak produktif, maka penjualan pemain keluar klub adalah keputusan yang patut diperhatikan. Tapi, sesungguhnya, bukan hanya klub saja yang ribet dengan masalah ini, melainkan juga pemainnya. Banyak pemain-pemain yang dijual ke luar MU tertekan karena seolah mimpi mereka terenggut, namun di sisi lain, mereka juga tidak bisa melakukan apa-apa untuk klub.
Nah, pada tahun 2004, Louis Saha adalah salah satu pemain yang bermasalah performanya sejak dibeli MU dari Fulham dengan harga 12 juta poundsterling. Namun beberapa bulan setelah dibeli, Saha mengalami cedera yang mengharuskannya absen berbulan-bulan. Saha sebetulnya memiliki motivasi yang besar, dan sangat menginginkan bermain untuk MU, namun keadaan fisiknya tidak memungkinkan. Akibatnya, Saha merasa bersalah sekali pada klub dan merasa tidak percaya diri, ia juga sempat putus asa dan berpikir mau pensiun. Namun, Sir Alex berkata, “Jangan menyerah begitu, kamu masih muda. Kamu hanya perlu bekerja keras supaya kamu bisa pulih kembali.”
Sir Alex pun membuat sebuah rencana bagi Saha, bekerjasama dengan pelatih United saat itu, Carlos Queiroz. Mereka melancarkan program latihan pribadi bagi Saha. Meskipun demikian, Saha tetap tidak juga siap bermain hingga akhirnya klub memutuskan melepasnya ke Everton tahun 2008. Kemungkinan besar hal ini tidak hanya disebabkan masalah fisiknya, tetapi juga disebabkan oleh tekanan batin yang dirasakan Saha karena harus bermain untuk klub sebesar MU.
Selain itu, yang bisa dipetik dari kisah Saha adalah pentingnya mengetahui keadaan psikologis pemain. Bagi Sir Alex, yang terpenting adalah membawa karakter tim saat bermain. Hal ini disebabkan karakter tiap pemain di luar dan di dalam lapangan akan berbeda. Tekanan batin yang dirasakan akan jauh berbeda ketika menghadapi lawan dan membuat keputusan yang tepat untuk mencetak gol. Maka dari itu, ia beberapa kali menekankan dalam autobiografinya, bahwa kedekatan antar pemain itu penting. Komunikasi antara manajer, pelatih, dan pemain itu juga penting.
Analisis Kasus Kelompok
Dikisahkan, Manchester United pernah mengalami suatu masa yang kelam dalam sejarah karir klub. Tepatnya, di musim panas 2003 hingga Mei 2006. MU sempat meraih piala FA tahun 2004, namun piala Liga Premier pada periode itu masih dicengkeram Arsenal dan Chelsea. Kedengarannya memang tidak terlalu buruk di luar, bukan? Tapi, kondisi Manchester United bisa dibilang sedang penuh masalah internal. Beberapa pemain yang dibeli oleh tim tidak bisa perform dengan maksimal karena memiliki isunya masing-masing. Sir Alex sempat menyayangkan keputusan klub yang terburu-buru membeli pemain, tapi mau bagaimana lagi? Skuad Manchester United yang disangga oleh Gary Neville, Ryan Giggs, Paul Scholes, dan Roy Keane sudah waktunya digantikan oleh wajah-wajah baru yang lebih segar. Tidak hanya performa pemain ‘salah beli’ yang jadi masalah, tapi juga attitude-nya, misalnya tidak mau menurut kalau disuruh diet atau jarang bersosialisasi.
Nah, kasus ‘salah beli’ yang terjadi ini mengakibatkan kohesivitas tim juga berkurang. Sir Alex pernah memaparkan dalam autobiografinya, bahwa salah satu pemain yang kurang merasa cocok di MU adalah Sebastian Veron. Bukannya tidak bisa bergaul, tetapi Veron sangat tertutup sehingga kurang bisa mengkomunikasikan kemauannya pada pelatih, manajer, bahkan dengan sesama anggota timnya. Selain itu, ada juga kisah Roy Keane dan Ruud Van Nistelrooy yang suka bertengkar. Mereka suka ribut karena hal-hal kecil, karena Keane cenderung memiliki emosi yang meledak-ledak.
Sir Alex selaku manajer MU tidak tanggung-tanggung menegur pemainnya untuk meredakan konflik dan mengembalikan tim pada tujuan. Namun tidak hanya itu, untuk kasus Veron, ia mengandalkan pemain-pemain lainnya untuk mengajak rekannya saling berkomunikasi. Untuk kasus Keane dan Van Nistelrooy, anggota tim lainnya sering menjadi penengah. Kemudian, Sir Alex menggunakan pendekatan individual kepada pemain-pemain yang bersitegang. Setelah didekati, alasan Keane sering mudah marah juga disebabkan masalah usianya yang tidak lagi prima. Sehingga kemudian, Sir Alex pun mengubah strategi permainan tim untuk membuat Keane tetap bisa bermain. Meskipun hal tersebut tidak bisa menolong Keane dalam mengatasi fisiknya yang melemah, setidaknya gaya permainan MU saat itu masih bisa terselamatkan. Tidak hanya menyelamatkan gaya permainan, tetapi usaha memperbaiki hubungan anggota tim juga sekaligus mengembalikan tim pada tujuan mereka, yaitu memenangkan pertandingan.
Analisis Kasus Organisasi
Dari sekian masalah yang dihadapi MU, yang paling penting adalah mengenai leadership. Sir Alex sebagai manajer MU memiliki leadership style yang lebih ke arah otokratis, tetapi juga demokratis. Ia memang terkenal keras dan tegas dalam mengambil keputusan, tetapi ia juga mau mendengarkan pendapat pemain, dan tidak sepenuhnya membebani pemainnya dengan menentukan segala keputusan ada di tangannya, kecuali pada saat-saat krusial. Misalnya, ketika Louis Saha merasa tidak kuat lagi bermain dan sudah tidak pede bermain di MU, Sir Alex tidak memaksakannya dan melepasnya ke Everton karena itu adalah keputusan yang terbaik setelah gagal memulihkan Saha.
Keputusan lain yang dibuat Sir Alex untuk keberlangsungan klub adalah soal Cristiano Ronaldo yang pada akhirnya dilepas ke Real Madrid. Menjual Ronaldo waktu itu merupakan tindakan yang sangat berani, mengingat peran Ronaldo sebagai penyerang yang handal di tim. Dan untungnya, secara kebetulan, Ronaldo menjadi bintang di Real Madrid, sehingga bisa dibilang MU dan Madrid memiliki simbiosis mutualisme setelah menjual Ronaldo. Toh, MU saat itu juga masih memiliki Wayne Rooney yang karirnya juga semakin berkembang. Usut punya usut, hingga sekarang, Ronaldo dan para pemain MU masih menjalin kontak dengan baik.
Selain bicara soal leadership yang sangat penting dalam psikologi olahraga, bagi Sir Alex, mental seorang manajer juga harus kuat. Tidak masalah apakah manajer itu introvert atau ekstrovert, yang penting mereka bisa mengendalikan semua pemain dari berbagai macam latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya. Kegigihan dan keuletan, serta ketegasan Sir Alex sebagai manajer itulah yang pada akhirnya membawa MU keluar dari masa kelamnya, dibuktikan dengan prestasi-prestasi yang kemudian berhasil mereka raih. Momen ‘pecah telur’-nya yang terbaik adalah ketika MU meraih piala Liga Champions tahun 2008 di Moskow, setelah melalui adu penalti dramatis melawan Chelsea.
Kesimpulan
Nah, pada akhirnya, kita semua ingin tim kesukaan kita perform dengan baik, bukan? Namun, di mata psikologi olahraga, tidak ada tim yang perform baik atau jelek. Yang terpenting adalah membantu atlet untuk tetap fokus dalam setiap pertandingan dan mengelola tekanan internal maupun eksternal.
Eits, tapi pembahasan mengenai psikologi olahraga belum selesai, lho. Masih ada pendekatan-pendekatan psikologi olahraga dari berbagai macam perspektif keilmuan yang akan kita bahas di artikel selanjutnya, yaitu menurut psikologi pendidikan, sosial, dan perkembangan. Stay tuned, ya!
References:
Acet, M., Gumusgul, O., Isik, U. (2017). Leadership Characteristics of Football Coaches. Sport şi Societate. 17.
Attard, W. (2017). The Modern Day Football Manager. Tesis. Malta Football Association.
Beauchamp, M., Bray, S. (2001). Role Ambiguity and Role Conflict Within Interdependent Teams. Small Group Research, 32, 133-157. 10.1177/104649640103200202.
Beauchamp, M., Dunlop, W. (2011). “Team and group dynamics in sports.” Encyclopedia of sports medicine, 1443-1445. New York: Sage Publications.
Beaumont, C., Maynard, I. W., & Butt, J. (2015). Effective ways to develop and maintain robust sport-confidence: Strategies advocated by sport psychology consultants. Journal of Applied Sport Psychology, 27(3), 301–318. https://doi.org/10.1080/10413200.2014.996302
Beltrami, F. (2017). Sports Psychologists and Athletes’ Psychological Skills. 10.13140/RG.2.2.28048.40965.
Fransen, K., Broek, G. (2017). Sports psychology: maximizing team potential. 10.1002/9781119227045.ch18.
Healy, L., Tincknell-Smith, A., Ntoumanis, N. (2018). “Goal Setting in Sport and Performance.” Oxford Encyclopedia of Psychology. Oxford University Press.
Locke, E. A., & Latham, G. P. (2002). Building a practically useful theory of goal setting and task motivation – A 35-year odyssey. American Psychologist, 57, 705-717. doi: 10.1037//0003-066x.57.9.705
Németh, Z. (2018). The Pattern of the Conflict Managing Culture of Junior Class Football Coaches. Disertasi.
Sørensen, J. P. (2011). Management and Conflicts in Professional Football. Aalborg.