mendeteksi kebohongan

Mau Tahu Cara Mendeteksi Kebohongan ala FBI? Baca Artikel Ini!

Jangan pernah ada dusta di antara kita…

Eakkk, eakkk…

Ehem, sori penulisnya agak meleng. Mari kembali ke laptop.

Apabila kamu termasuk awam atau baru terjun di dunia psikologi, kamu harus tahu bahwa ilmu psikolog itu ternyata keren abis. Yep, tidak hanya digunakan dalam penelitian atau konseling saja, tetapi psikologi juga berperan penting dalam asesmen keperilakuan yang melibatkan proses tindak pidana dalam psikologi forensik, seperti cara mendeteksi kebohongan.

Tim Behavioral Analysis Unit di FBI, misalnya, adalah instansi yang paling gencar dalam menggunakan dan mempromosikan psikologi forensik. Sebut saja serial TV NCIS atau Criminal Minds. Serial-serial tersebut menunjukkan anggota FBI yang melakukan asesmen perilaku dan kepribadian melalui berbagai metode seperti observasi, wawancara, riwayat hidup, dan psikodiagnostika, serta analisis mendalam menggunakan artificial intelligence untuk membuat profil penindak kriminal, khususnya bagaimana mendeteksi kebohongan. Metode-metode yang mereka gunakan untuk mengetahui orang berbohong ini juga berkembang dari waktu ke waktu.

Pada abad ke-300 SM, proses asesmen menggunakan detak jantung pernah dilaksanakan oleh Erasistratus, seorang fisikawan Yunani, untuk mendeteksi kebohongan. Penggunaan detak jantung inilah yang kemudian menginspirasi para ahli dalam menciptakan polygraph. Seiring berjalannya waktu, banyak alat asesmen biopsikologis seperti EEG, fMRI, PET yang digunakan bersamaan dalam asesmen. Nah, berhubung artikel ini bukan soal asesmen, kita akan membahas tentang aspek-aspek penting yang bisa diperhatikan secara perilaku dalam mendeteksi kebohongan seseorang.

Table of Contents

Ciri-ciri Orang Berbohong: Hot-spot

Eits, para pemburu wifi gratis jangan salah tangkap, ya! Hot-spot menurut Paul Ekman adalah semacam karakteristik atau pertanda yang terlihat tidak cocok dengan kenyataan yang diceritakan seseorang. Hot-spot bisa dimunculkan oleh emotional stressor atau cognitive stressor, sehingga dapat terjadi pada perubahan emosi secara mendadak atau ketidaksesuaian ekspresi dengan apa yang dibicarakan.

Misalnya begini. Alkisah, seorang karyawan bernama Ega dituduh oleh rekan kerjanya yang bernama Lintang bahwa ia melakukan suap sebesar 15 juta kepada bosnya di sebuah perusahaan multinasional agar naik jabatan. Suap tersebut dilakukan dengan sembunyi-sembunyi melalui cek, dan Lintang memiliki alibi tentang Ega yang dilihatnya bertemu dengan bosnya di sebuah restoran untuk menyerahkan cek tersebut pada pukul 9 malam di hari Kamis. Ega menyangkal hal itu dengan penuh keyakinan, karena menurutnya ia tidak keluar rumah hingga jam 11 malam di hari itu. Kalau keluar pun, Ega hanya akan mampir pos ronda untuk nongkrong nonton Premier League dengan Adrian, tetangganya.

Ternyata, usut punya usut, setelah berbincang dengan istri Ega, tim penyelidik mendapatkan keterangan lain. Faktanya, sejak jam 8 malam hari itu, Ega belum pulang ke rumah. Ketika tim penyelidik mengkonfirmasi hal ini pada Ega, sekali lagi Ega menyangkal, dengan pengakuan bahwa ia mudah lupa hari. Namun selama penyidikan, terlihat jelas bahwa Ega tampak gugup dan tidak seyakin biasanya. Ia juga sering berkeringat setiap penyelidik melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih detail. Nah, inilah hot-spot yang tampak dari kasus Ega.

Cara Mendeteksi Kebohongan melalui Micro-expressions

Menurut Ekman, orang yang berbohong akan menampakkan ‘dua pesan’ dalam ekspresi wajahnya, yakni apa yang ingin ditunjukkan serta apa yang ingin disembunyikan. Seringkali, pesan tersembunyi ini ‘bocor’ dalam bentuk micro-expressions, yakni dalam wujud ekspresi wajah singkat (setengah detik atau kurang) yang tidak disengaja mengungkapkan emosi yang sebenarnya. Sayangnya, micro-expressions sering tidak terlihat secara kasat mata karena kita kurang memperhatikan.

Pernyataan Ekman ini diperkuat oleh studi Matsumoto dan Hwang (2018), yang mengatakan apabila dikaji secara mendalam, micro-expressions bisa menunjukkan ketidaksesuaian dalam pernyataan seseorang yang bisa membantu membedakan antara kebenaran dengan kebohongan, bahkan bisa memprediksi kemungkinan seseorang untuk melakukan tindakan berbahaya. Trik ini juga bisa diterapkan dalam ilmu psikologi membaca karakter orang.

Nah, mari kita kembali pada kisah Ega yang dituduh melakukan suap. Ega tidak berhasil mengelak dari para penyidik, karena semua bukti yang ada mengarah padanya. Namun ternyata, Ega bukan satu-satunya orang yang berperan dalam tindak KKN ini, apalagi karena jabatan Ega belum sampai tingkat manajer, mustahil baginya mendapatkan uang sebanyak itu.

Usut punya usut, ada orang lain yang menjumpai Ega dengan iming-iming menjanjikan kerjasama bisnis, tapi syaratnya Ega harus menduduki posisi manajer dulu di perusahaan. Nah, orang ini ternyata adalah Arif, teman lama Ega yang kini merupakan CEO di perusahaan saingan. Arif pun diinterogasi habis-habisan, tapi ia menyangkal memberikan uang dalam jumlah besar kepada Ega untuk menyogok kepada bosnya.

Dalam penyelidikan itu, satu tim pakar psikologi forensik pun diundang untuk mengobservasi Arif dari luar ruang interogasi. Mereka memperhatikan bahwa Arif selalu menjawab dengan ceria, namun ada saat di mana matanya tidak fokus ketika diajak mengobrol terkait hubungannya dengan Ega, serta banyak memiringkan bibir. Dua gestur itu adalah contoh dari beberapa micro-expression yang dimaksud oleh Ekman yang mengindikasikan bahwa kemungkinan besar Arif tidak mengatakan hal yang sebenarnya.

Tanda-Tanda Bohong: False expressions

Kebohongan bisa dideteksi dari dahi juga!

Apa bedanya false expressions dengan micro-expressions? False expressions atau ekspresi palsu adalah segala ekspresi emosional yang ditutupi dengan emosi yang lain. Misalnya, dalam kesedihan dan ketakutan, tanda yang menunjukkan emosi tersebut dipalsukan individu adalah tidak munculnya ekspresi pada area dahi. Sementara kebahagiaan dipalsukan dimunculkan pada tidak adanya kedutan pada area luar mata.

Nah, bagaimana pada kasus Ega dan Arif? Kedua tersangka sudah terbukti menunjukkan tanda-tanda berbohong, baik melalui hot-spot maupun micro-expressions, sehingga mereka pun diadili. Ketika pengadilan, Ega menangis meraung-raung di tengah ruangan sambil memohon kepada hakim agar tidak divonis berat dan malah menyalahkan Arif. Di sisi lain, Arif tidak terima dan tampak emosi, namun karena ia tidak memiliki bukti yang sekuat Ega dalam tindakannya, ia belum menerima vonis dan masih dinyatakan sebagai saksi.

Saat itu, salah satu tim penyelidik menemukan bahwa Arif merasa lega sekalipun ia tampak marah pada Ega melalui sorot matanya yang berbinar-binar ketika hakim menjatuhkan vonis. Ega juga sebetulnya tidak benar-benar menangis untuk mengasihani diri, tetapi hanya untuk menarik simpati ditunjukkan dari tidak adanya kedutan di dahinya yang biasa ditampakkan orang yang sedih betulan.

Melihat Orang Berbohong dari Gaya Bahasa

Pernahkah kalian memperhatikan sekilas perbedaan ketika kalian bercakap-cakap dengan orang baru dan orang yang sudah lama kenal?

Yep, orang yang baru kenal dengan kita pasti akan menggunakan gaya bahasa yang berbeda dengan teman lama kita. Dalam konteks bahasa Indonesia, misalnya, mereka akan cenderung menggunakan gaya formal.

Dilansir oleh NAP.edu, dalam cara mendeteksi kebohongan, ada beberapa aspek berbeda dari penggunaan bahasa yang secara konsisten dikaitkan dengan penipuan, misalnya dalam bahasa Inggris, hal ini ditunjukkan oleh penggunaan negasi, afirmasi, passive voice, dan lain-lain. Suatu studi lapangan (Smith, 2001) mengevaluasi analisis konten ilmiah yang dikembangkan oleh Sapir (1987), menggunakan pernyataan yang dibuat oleh tersangka kriminal untuk dipastikan berbohong atau benar. Studi ini juga melaporkan bahwa polisi yang terlatih dengan tepat mendeteksi 80 persen pernyataan yang benar dan 75 persen pernyataan yang menipu, sedangkan polisi berpengalaman yang tidak terlatih dalam teknik tersebut juga bisa memprediksi kebohongan sama akuratnya. Sayangnya, pendekatan ini hanya dapat diterapkan pada pernyataan tertulis yang dibuat oleh tersangka secara sendirinya, bukan pernyataan verbal tersangka.

Penelitian lain oleh Hicks dan Ulvestad (2011) menyatakan bahwa pernyataan verbal maupun nonverbal individu bisa membuktikan bahwa kebohongan dapat terjadi, tergantung dari besarnya sampel penelitian, jumlah pernyataan, konten pernyataan, serta motivasi internal individu. Dengan kata lain, ada baiknya bagi kita untuk memperhatikan dengan seksama mengenai penggunaan gaya bahasa dan pernyataan individu kalau ingin menentukan individu tersebut berbohong atau tidak.

Cara Mengetahui Orang Berbohong Menurut Psikologi: Model Statement dan Detail

Penelitian Vrij, dkk. (2018) melaporkan bahwa sejumlah “model statement bisa digunakan sebagai detektor kebohongan. Model statement berfungsi sebagai perbandingan sosial, dengan cara memberikan semua detail yang dapat diingat seseorang. Model statement terdiri atas komplikasi (kejadian yang membuat situasi lebih sulit dari yang diperlukan) diikuti dengan detail. Contoh komplikasi adalah “perahu saya tidak bisa berlayar karena anginnya kurang besar” atau “saya tidak bisa naik kereta api tepat waktu karena terjebak macet.”

Ilustrasi FBI sedang melakukan interogasi

Dalam wawancara, pembohong lebih suka membuat ceritanya sederhana, tetapi mereka juga menambahkan komplikasi untuk membuat cerita menjadi lebih kompleks tanpa menambahkan detail. Sebagai contoh, ketika Ega diminta mendeskripsikan tentang apa yang dia lakukan di hari Kamis sampai tidak pulang sejak pukul 8 malam, ia menyatakan, “Oh, saya tidak bisa pulang tepat waktu karena mengantri di pom bensin.” Lalu, seorang penyelidik berkata, “Hm, begitu. Tapi, jarak pom bensin kan hanya beberapa menit dari rumah Anda.” “Benar,” jawab Ega. “Tapi saat itu, saya ingat bahwa saya lupa membawa uang untuk beli bensin, jadi saya ke ATM untuk mengambilnya.”

Penyelidik pun kembali bertanya, “Lalu, apakah ketika Anda ke ATM, Anda sempat mengeluarkan ponsel? Menurut istri Anda, ia menelepon tiga kali saat itu.” “Ah, sayang sekali saya tidak bisa melakukannya, karena ponsel saya lowbat sejak pukul 7,” ujar Ega.

Berdasarkan teori model statement, jelas sekali dalam contoh ini bahwa Ega terus menerus memberikan alasan, tetapi ia tidak pernah memberikan detail secara runtut mengenai peristiwa yang terjadi. Apabila ia berkata jujur, ia akan menjelaskan satu kejadian yang paling penting sebagai penyebab dirinya tidak pulang tepat waktu, disertai detail waktu, keadaan lingkungan, keadaan emosi, dan lain-lain.

Kesimpulan

Pada akhirnya, cara mendeteksi kebohongan memerlukan kemampuan investigasi dan pengamatan yang kuat terhadap hal-hal kecil. Namun, dengan kebiasaan dan terus berlatih, kita akan semakin peka dengan perilaku-perilaku yang menandakan kebohongan, baik secara verbal maupun non verbal. Ah, dan apabila kalian tertarik, FBI selalu membuka lowongan karir bagi kamu yang tertarik menjadi behavior analyst, lho! Syaratnya adalah lulusan psikologi, memiliki kompetensi di bidang asesmen, dan tentu saja memiliki pengetahuan hukum, terutama hukum pidana. Eits, tapi jangan lupa, syarat terpentingnya harus kamu pikirkan matang-matang, karena tentu saja, kamu harus jadi warga Amerika Serikat terlebih dahulu! Hehehe.

Referensi:

Hicks, C., Ulvestad, N. (2011). Deception Detection Accuracy Using Verbal or Nonverbal Cues. The Journal of Undergraduate Research, 9 (9). https://openprairie.sdstate.edu/jur/vol9/iss1/9

Ekman, P. (2021). Deception Detection. Dipetik dari PaulEkman.com: https://www.paulekman.com/deception/deception-detection/

National Research Council. (2003). “6 Alternative Techniques and Technologies.” The Polygraph and Lie Detection. Washington, DC: The National Academies Press. doi: 10.17226/10420.

Vrij, A., Leal, S., & Fisher, R. P. (2018). Verbal Deception and the Model Statement as a Lie Detection Tool. Frontiers in Psychiatry, 9. doi:10.3389/fpsyt.2018.00492

14 thoughts on “Mau Tahu Cara Mendeteksi Kebohongan ala FBI? Baca Artikel Ini!

  1. Itsmeatik

    Makasih kak ilmu baru nih.. aku baru istilah-istilahnya setelah membaca artikel ini seperti Hot-spot dan Micro expressions. Latihan seperti mempelajari bahasa tubuh seperti kontak mata, gerak tubuh, dan postur untuk memahami kapan seseorang berbohong penting banget sih menurutku

    Reply
  2. Yudi setiawan

    Jadi bner2 pengen masuk jurusan psikologi Doain Min mudah2an bisa kecapai, ilmu psikologi ternyata keren parah asli. Jadi bikin aku lebih bersyukur karena bisa menggunakan anggota tubuh terutama otak , ternyata asal kita bisa memanfaatkannya. Pokoknya speechless. Makasih juga info2nya aku baru tau kalo ada web begini

    Reply
  3. Azizah

    Makasihh kak ilmunya, jadi semakin pengen mempelajari lebih dalam ilmu psikologi. Do’ain ya mudah mudahan thn ini keterima di PTN jurusan psikologi

    Reply
  4. T. Inggan

    Wah suka banget artikel kayak gini. Meskipun aku orang awam yang gak ngerti sama psikologi, kalau dikasih info model begini mah jadi lancar banget otakku wkwkkw. Huhu jadi tertarik belajar psikologi biar bisa mengungkap ‘siapa pelakunya’ ala-ala novel misteri. Kalau digabungin kan jadi bisa nulis cerita misteri dengan lingkup psikologi. Wah kerennyaaa

    Reply
  5. Risti

    Ilmu ini bermanfaat sekali bagi orang yang awam mengenai psikologi seperti saya, banyak nilai nilai penting yg bisa dijadikan pelajaran

    Reply
  6. Elva Evada

    Artikel ini membuat saya jadi mengetahui dan belajar hal baru tentang cara mendeteksi kebohongan yang bisa diketahui melalui false expressions. Bahasanya nyaman banget untuk di baca jadi menimbulkan penasaran sehingga membuat saya pengen baca sampai selesai.

    Terima kasih kak sudah berbagi ilmu ini sangat berguna dan bermanfaat.

    Reply
  7. nrrhmh11_

    Kebetulan aku suka jika membahas tentang “Membaca ekspresi wajah” dan artikel ini cukup menarik serta bermanfaat. Terima kasih atas ilmunya kak

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *