Masa-masa kurang mobilitas diakibatkan pandemi COVID-19 masih belum berakhir, meskipun sudah ada beberapa kantor atau instansi yang memberlakukan aktivitas luring. Karena itu, isu-isu terkait kesehatan mental dalam situasi pandemi juga masih hot di kalangan masyarakat, salah satunya yang diakibatkan aktivitas daring seperti work from home (WFH) atau pembelajaran jarak jauh.
Siapa pun yang sedang menjalaninya pasti pernah mengalami saat-saat di mana kelelahan yang luar biasa menyerang, sampai-sampai kehilangan rasa ingin melakukan sesuatu yang lain. Rasanya ingin rebahan terus setiap saat. Tahukah kamu, bahwa yang kita rasakan itu disebut dengan burnout?
Sebelum membahas cara mengatasi burnout, mari simak terlebih dahulu definisi dan penyebabnya.
Definisi dan Penyebab Burnout
Menurut Maslach dan Leiter (2016), burnout adalah sindrom psikologis yang muncul sebagai respons berkepanjangan terhadap penyebab stres interpersonal yang kronis. Sementara itu, berbagai sumber menyatakan bahwa burnout bisa disebabkan oleh:
- Kurangnya dukungan sosial yang memadai. Pisanti (2012) mencatat bahwa dukungan sosial penting bagi seseorang untuk membangun mekanisme coping terhadap stres dan mengatasi risiko kelelahan yang berlebihan akibat bekerja keras.
- Kelebihan beban kerja. Faktor ini berkontribusi pada kelelahan dengan menipisnya kapasitas orang untuk memenuhi tuntutan pekerjaan. Ketika kamu kelebihan beban kerja, kamu hanya memiliki sedikit kesempatan untuk beristirahat, memulihkan diri, dan memulihkan keseimbangan (Maslach & Leiter, 2016).
- Kurangnya perawatan diri. Meskipun perawatan diri bukan satu-satunya solusi dalam memulihkan burnout, perawatan diri tetap perlu dilakukan karena menjaga kesehatan itu penting dalam mengurangi risiko penyakit fisik yang disebabkan burnout.
Tanda-tanda Kamu Burnout
Maslach dan Leiter mengatakan, ada tiga dimensi utama dari burnout, yakni:
- Kelelahan yang luar biasa. Tentu saja, burnout disebabkan oleh kelelahan karena beraktivitas berlebihan.
- Perasaan sinisme dan keterpisahan diri dari aktivitas. Ketika kamu burnout, kamu merasa tidak peduli lagi dengan aktivitas yang akan kamu lakukan, sehingga fokusmu bisa berkurang.
- Rasa tidak produktif dan kurangnya pencapaian. Maksudnya kurang pencapaian adalah ketika kamu merasa kewalahan dan terkuras secara emosional ketika kamu tidak mampu memenuhi tuntutan aktivitas secara terus menerus.
Kemudian, dilansir dari artikel Elizabeth Scott dari Verywellmind, gejala-gejala yang dirasakan seseorang saat burnout meliputi:
- Gejala fisik: stres kronis akibat burnout dapat menyebabkan gejala fisik, seperti sakit kepala dan sakit perut atau masalah pencernaan.
- Gejala emosional: merasa terkuras, tidak mampu mengatasi, dan lelah, kekurangan energi untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.
- Gejala perilaku: merasa negatif tentang tugas, mengalami kesulitan berkonsentrasi, dan seringkali kurangnya kreativitas.
Apabila kamu pernah mengalami gejala-gejala seperti di atas, sudah pasti kamu perlu waspada. Karena bila tidak diatasi dengan cara yang tepat, burnout bisa membahayakan kesehatan mental dan fisikmu.
Bahaya Burnout Bagi Kesehatan Mental dan Fisik
Bila dikaitkan dengan sistem aktivitas remote atau daring yang sedang kita jalani selama pandemi COVID-19, burnout bisa menyebabkan seseorang merasa terisolasi dari dunia luar, sehingga berisiko berujung pada depresi.
Selain itu, menurut riset yang dilakukan Koutsimani, et. al. (2019), lingkungan yang penuh tekanan juga dapat memicu reaksi cemas, sehingga burnout juga bisa membuat seseorang yang sebelumnya belum punya gangguan kecemasan menjadi kambuh, serta memunculkan gejala-gejala gangguan kecemasan bagi yang belum pernah mengalaminya. Penting untuk mengetahui cara mengatasi kecemasan jika kamu sudah terdiagnosa mengalami anxiety disorder.
Di samping gangguan kesehatan mental, burnout juga dapat memicu risiko gangguan kesehatan fisik sebagai akibat dari perilaku kurang sehat atau coping stres yang kurang tepat selama beraktivitas daring, antara lain:
1. Gangguan tidur
Salah satu gangguan tidur yang paling sering muncul diakibatkan burnout adalah insomnia. Sebab, di antara faktor-faktor lain yang bisa memicu insomnia, faktor terbanyak adalah kurangnya istirahat dan kebiasaan tidur yang tidak teratur.
Selain itu, sebuah studi melaporkan bahwa tingkat keparahan insomnia bergantung pula dari beban kerja seseorang, karena seseorang dengan beban kerja tinggi akan cenderung lebih berpotensi mengalami stres kerja yang menyebabkan terganggunya pola tidur.
2. Obesitas
Menurut sebuah riset di Meksiko, burnout bisa memicu obesitas dikarenakan stres akibat burnout dapat memicu konsumsi kalori berlebih yang tidak disertai keseimbangan dalam beraktivitas fisik, yang akhirnya menyebabkan Indeks Massa Tubuh (BMI) menjadi meningkat.
3. Nyeri otot
Keadaan WFH atau belajar jarak jauh akan membuatmu sering duduk dalam waktu lama sambil menatap layar komputer. Hal inilah yang menyebabkan sejumlah kasus orang-orang yang sedang WFH atau belajar daring mengalami gangguan nyeri otot, misalnya kram dan nyeri sendi.
Apalagi, ketika keadaan lingkungan dalam bekerja atau belajar kurang memadai. Dilansir sebuah penelitian, ketegangan otot dan nyeri juga bisa diakibatkan oleh burnout, tak peduli dengan jenis pekerjaan atau gender.
4. Serangan jantung
Dilansir dari Forbes, sebuah studi yang dilaksanakan oleh European Preventive Journal of Cardiology melaporkan bahwa burnout dapat menyebabkan potensi meningkatnya detak jantung yang kurang teratur yang disebut atrial fibrillation sehingga aliran darah ke jantung dapat terganggu dan meningkatkan risiko penyakit jantung.
Selain itu, studi lain dari Appels dan Schouten (1991) juga menyatakan bahwa burnout diakibatkan bekerja terlalu keras dapat memicu serangan jantung, apalagi bila burnout disertai perilaku yang membahayakan kesehatan seperti merokok atau minum-minum.
5. Diabetes
Diabetes merupakan penyakit yang disebabkan karena kadar gula darah yang meningkat. Risiko seseorang mengidap diabetes disebabkan karena stres akut dapat memicu seseorang untuk kurang memperhatikan asupan nutrisi dan tidak menjaga pola makan serta lupa check up kesehatan.
Cara Mengatasi Burnout
Sekarang, kita sudah tahu bahwa burnout itu berbahaya karena bisa menyebabkan orang menjadi tidak sehat mental. Lalu, bagaimana caranya kita mengatasi burnout?
Menurut Luban (1994) dalam bukunya, Keeping the Fire: From Burnout to Balance, ada 3 cara menghadapi burnout yang disingkat menjadi 3R:
- Recognize. Yaitu memperhatikan tanda-tanda mulai terjadi burnout. Apabila kamu sudah merasakan gejala-gejalanya di mana tubuhmu ‘menjerit,’ jangan ragu untuk berhenti dan istirahat.
- Reverse. Yaitu mengembalikan keadaan mental dengan mencari support dan mengelola stres. Support bisa didapatkan dari teman-teman, keluarga, atau kelompok dukungan di sekitarmu.
- Resilience. Yaitu membangun mental yang sehat dengan mempraktikkan self care dan pengelolaan emosi. Self care ini bisa meliputi tidur yang cukup, makan yang teratur, dan berolahraga.
Selain ketiga cara ini, penting juga bagi kamu untuk menerapkan strategi modifikasi lingkungan agar kamu tidak terus menerus terjebak dalam ‘lingkaran setan’ burnout. Tips-tips mengatasi burnout ini penulis bagi berdasarkan pengalaman penulis selama menjalani pekerjaan dan pembelajaran daring di masa COVID-19:
1. Ciptakan lingkungan kerja atau belajar yang kondusif
Sebuah penelitian dari Galletta, et. al. (2016) melaporkan bahwa lingkungan dapat menjadi faktor psikososial dalam terjadinya burnout. Mencari lingkungan untuk kerja dan belajar yang kondusif di masa pandemi memang agak sulit, apalagi kalau kesempatan keluar rumah terbatas.
Namun, kamu bisa mengatasi burnout dengan membuat ruang kerjamu di rumah menjadi lebih menarik. Misalnya, kamu bisa menambahkan tanaman hijau di ruang kerjamu. Sebuah riset melaporkan bahwa keberadaan tanaman hijau bisa meningkatkan mood dan meningkatkan persepsi akan keindahan ruangan, sehingga kamu bisa bekerja dengan lebih nyaman.
Kamu juga bisa mengganti kursi dan meja yang kamu gunakan untuk WFH atau belajar dengan furnitur yang lebih nyaman, atau bekerja sambil mendengarkan musik yang menenangkan.
2. Bersikap asertif
Tidak ada orang yang suka bila diberi beban kerja yang berat, apalagi bila sampai tidak bisa beristirahat. Maka dari itu, bersikap asertif dan menyatakan keluhan karena merasa burnout adalah tindakan yang benar.
Buat kamu yang sudah bekerja, kamu bisa membicarakannya baik-baik dengan atasan kamu terkait kesesuaian beban kerja. Sedangkan bila kamu masih menjalani perkuliahan daring, kamu bisa menulis surat keluhan yang ditujukan kepada pengelola akademik sehingga tugas-tugas yang kamu dapatkan tidak terlalu memberatkan.
3. Tetapkan batasan dalam aktivitas daring dan quality time
Selain modifikasi lingkungan, ada sedikit trik mengatasi burnout yang penulis sebut dengan setting boundary. Simpel saja, apabila kamu sudah selesai bekerja atau belajar, jangan lupa untuk menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekat, meskipun hanya sekedar mengobrol lewat chat, video call, atau nge-game bersama.
Tak peduli seberapa jauh jarak memisahkan kita dengan mereka, kita tetap makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk bertahan hidup.
References:
- Appels, A., & Schouten, E. (1991). Burnout as a Risk Factor for Coronary Heart Disease. Behavioral Medicine, 17(2), 53–59. doi:10.1080/08964289.1991.9935158
- Armenta-Hernández, O. D., Maldonado-Macías, A., García-Alcaraz, J., Avelar-Sosa, L., Realyvasquez-Vargas, A., & Serrano-Rosa, M. A. (2018). Relationship between Burnout and Body Mass Index in Senior and Middle Managers from the Mexican Manufacturing Industry. International journal of environmental research and public health, 15(3), 541. https://doi.org/10.3390/ijerph15030541
- Galletta, M., Portoghese, I., Ciuffi, M., Sancassiani, F., Aloja, E., & Campagna, M. (2016). Working and Environmental Factors on Job Burnout: A Cross-sectional Study Among Nurses. Clinical practice and epidemiology in mental health : CP & EMH, 12, 132–141. https://doi.org/10.2174/1745017901612010132
- Koutsimani, G., Montgomery, A., & Georganta, K. (2019). The Relationship Between Burnout, Depression, and Anxiety: A Systematic Review and Meta-Analysis. Frontiers in Psychology. 10. 10.3389/fpsyg.2019.00284.
- Langballe, Ellen & Innstrand, Siw Tone & Hagtvet, Knut & Falkum, Erik & Aasland, Olaf. (2009). The relationship between burnout and musculoskeletal pain in seven Norwegian occupational groups. Work (Reading, Mass.), 32. 179-88. 10.3233/WOR-2009-0804.
- Larsen, L., Adams, J., Deal, B., Kweon, B., & Tyler, E. (1998). Plants in the WorkplaceThe Effects of Plant Density on Productivity, Attitudes, and Perceptions. Environment and Behavior, 30, 261-281. 10.1177/001391659803000301.
- Luban, R. (1994). Keeping the Fire: From Burnout to Balance. Ruth Luban Audio & Books.
- Maslach, C., & Leiter, M. P. (2016). Understanding the burnout experience: recent research and its implications for psychiatry. World Psychiatry, 15(2), 103–111. doi:10.1002/wps.20311
- Metlaine, A., Sauvet, F., Gomez-Merino, D., Elbaz, M., Delafosse, J. Y., Leger, D., & Chennaoui, M. (2017). Association between insomnia symptoms, job strain and burnout syndrome: a cross-sectional survey of 1300 financial workers. BMJ Open, 7(1), e012816. doi:10.1136/bmjopen-2016-012816
- Pisanti, R., Lombardo, C., Lucidi, F., Violani, C., & Lazzari, D. (2013). Psychometric properties of the Maslach Burnout Inventory for Human Services among Italian nurses: a test of alternative models. Journal of advanced nursing, 69(3), 697–707. https://doi.org/10.1111/j.1365-2648.2012.06114.x
- Salvagioni, D., Melanda, F. N., Mesas, A. E., González, A. D., Gabani, F. L., & Andrade, S. M. (2017). Physical, psychological and occupational consequences of job burnout: A systematic review of prospective studies. PloS one, 12(10), e0185781. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0185781